Rabu, 01 Agustus 2012

Agresivitas Anak Usia Dini dan Kegiatan Bermain Peran


KEGIATAN BERMAIN PERAN SEBAGAI  UPAYA UNTUK  MENGATASI PERILAKU ANAK AGRESIF YANG  MENGGANGGU TEMAN SAAT PEMBELAJARAN

A.  Pendahuluan
          Usia Prasekolah (4-6 tahun)  adalah usia yang rentan bagi anak. Pada usia ini anak mempunyai sifat imitasi atau meniru terhadap apapun yang telah dilihatnya. Orang-orang dewasa yang paling dekat dengan anak adalah orang tua. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak yang mempunyai pengaruh sangat besar. Lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai stimulans dalam perkembangan anak. Orang tua mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan kepribadian anak.
          Kenyataan yang terjadi di masyarakat, bahwa tanpa disadari semua perilaku serta kepribadian orang tua yang baik ataupun tidak ditiru oleh anak. Anak tidak mengetahui apakah yang telah dilakukanya baik atau tidak. Karena anak usia prasekolah belajar dari apa yang telah dia lihat. Pembelajaran tentang sikap, perilaku dan bahasa yang baik sehingga akan terbentuknya kepribadian anak yang baik pula, perlu diterapkan sejak dini. Orang tua merupakan pendidik yang paling utama, guru serta teman sebaya yang merupakan lingkungan kedua bagi anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978  dalam Mariani, 2010:3) dalam  yang mengungkapkan bahwa orang yang paling penting bagi anak adalah orang tua, guru dan teman sebaya karena dari merekalah anak mengenal sesuatu yang baik dan tidak baik.   
          Taman kanak-kanak (TK) merupakan pendidikan pra-sekolah yang diselenggarakan bagi anak usia 4-6 tahun (Patmonodewo, 2003). Penyelenggaraan taman kanak-kanak bukan merupakan pra-syarat untuk memasuki jenjang sekolah dasar, akan tetapi penyediaan program pendidikan dini Taman Kanak-Kanak ini dimaksudkan untuk mempersiapkan anak memasuki dunia belajar, sehingga anak akan relatif lebih siap untuk belajar di sekolah dasar daripada anak yang langsung masuk ke SD tanpa melalui TK. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran di TK adalah belajar sambil bermain dan bermain seraya belajar. Dalam hal ini, juga dikembangkan kemampuan berinteraksi anak dengan anak-anak lain dari kalangan dan keluarga yang berbeda. Dengan adanya pola interaksi sosial seperti ini dapat memberikan bekal kepada anak ketika bersosialisasi dengan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya (Fatihah, dalam  Sessiani, 2005). 
          Akan tetapi pada kenyataannya akan banyak  ditemukan juga bahwa tidak semua hal berjalan sesuai dengan harapan dan rencana apalagi ketika mulai muncul berbagai perilaku yang tidak diharapkan. Bagi anak di TK kebutuhan sosial merupakan suatu syarat untuk pertumbuhan jiwa, yang apabila tidak terpenuhi akan menghambat  perkembangan jiwa anak. Kebutuhan sosial ini tidak dapat terpenuhi sckedar mempersatukan anak yang sebaya dalam satu kelas untuk mcndengarkan uarian-uraian guru. Yang dibutuhkan oleh anak adalah seorang guru yang dapat mengerti dan menyayangi mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
          Selama berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya, diharapkan anak selalu berperilaku yang baik serta patuh terhadap norma-norma yang berlaku di
masyarakat dengan perilaku yang lazim dilakukan anak-anak seusianya. Menurut Havighurst (1984 dalam Nurliana, 2010: 3) tugas-tugas perkembangan anak usia taman kanak-kanak yang berkaitan dengan interaksi sosial anak antara lain: a) belajar bergaul dengan teman sebaya, b) mempelajari peranan sosial seorang laki-laki atau perempuan dan c) belajar mengambil bagian secara bertanggung jawab.
          Fenomena yang ada di sekitar memperlihatkan tidak semua anak dapat melewati tahap perkembangannya dengan baik dan selalu bisa tumbuh menjadi anak yang menyenangkan. Izzaty (2006,dalam Nurliana, 2010 3) mengungkapkan bahwa ada permasalahan yang dapat muncul pada perilaku anak-anak seperti perilaku yang tidak adaptif, merusak, serta mengganggu diri sendiri dan lingkungan.
          Hal di atas sesuai dengan yang diungkapkan oleh Qaimi (2002 dalam Nurliana, 2010: 5) tentang teori usia kenakalan bahwa kenakalan anak cepat terbentuk pada usia-usia muda, para orang tua dan pendidik harus tanggap dan memahami bagaimana kepribadian anak-anak mereka ketika mereka menunjukkan tanda-tanda kenakalan. Qaimi menambahkan bahwa seorang anak akan mulai nampak menunjukkan tanda-tanda kenakalannya ketika anak berusia empat sampai enam bulan, dan secara bertahap pada usia 2,5 tahun anak hanya memiliki kecenderungan untuk melawan (orang tuanya, misalnya), di usia tiga tahun selain cenderung melawan anak juga memiliki keinginan untuk menundukkan orang lain, kemudian pada usia 4 tahun  anak tengah berada dalam kondisi kenakalannya, misalnya ketika anak marah ia menghentak-hentakkan kakinya di tanah, berteriak dan selalu menentang perintah. Ketika anak menunjukkan perilaku seperti ini menurut Izzaty (2006,dalam Nurliana: 5) anak sedang berada pada area permasalahan yang juga sering muncul pada anak-anak yaitu area conduct dan restless yang salah satunya adalah agresivitas.
          Dalam pembelajaran, guru dan anak didik sering kali dihadapkan pada berbagai masalah sosial, baik yang berkaitan dengan  pembelajaran maupun yang menyangkut hubungan sosial. Guru yang kreatif senantiasa mencari pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton.
          Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan secara intensif sejak awal masuk sekolah di semester II hingga pertengahan semester, anak didik Kelas B TK Pertiwi 03 Ngadiluwih  semester I tahun pelajaran 2010/2011 menunjukkan bahwa ada lima   anak didik sering kali mengganggu temannya yang lain dengan perilaku mereka yang agresif misalnya membuat gaduh kemudian marah sampai menghentak-hentakkan kaki atau menyakiti anak lain secara fisik maupun verbal bahkan suatu ketika anak-anak tersebut juga menyakiti guru secara fisik pada saat mereka ditegur ketika berlangsung kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran menjadi terganggu.Hal itu terjadikarena dengan adanya peristiwa tersebut ada anak lain yang menjadi ‘korban’ agresivitas anak tersebut secara fisik , selain itu anak-anak yang lain menjadi terganggu karena tentu saja hal tersebut menjadi preseden buruk buat anak-anak usia dini yang berada pada usia suka meniru. Penulis khawatir bila perilaku anak tersebut dibiarkan akan membuat anak yang lain juga meniru perilaku tersebut. Untuk itu penulis harus segera membuat satu penyelesaian kasus tersebut dengan tetap memperhatikan kebutuhan anakuntuk selalu memdapatkan stimulasi perkembangan kecerdasannya dengan perumusan masalah :
  1. Apakah kegiatan bermain peran mampu mengatasi perilaku agresif anak kelompok B TK periwig 03 Ngadiluwih?
  2. Bagaimanakh kegiatan bermain peran mengatasi perilaku agresif  anak yang mengganggu pembelajaran?
B.  Solusi
          Taman Kanak-kanak didirikan sebagai usaha mengembangkan seluruh segi
kepribadian anak didik dalam rangka menjembatani pendididkan dalam keluarga ke pendidikan sekolah. TK merupakan salah satu bentuk pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik diluar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar.
          Kegiatan di Taman Kanak-kanak tentunya sangat berbeda dengan kegiatan pembelajaran di Sekolah Dasar. Kegiatan di TK dilaksanakan dengan cara bermain sesuai dengan prinsip TK yaitu “bermain sambil belajar, dan belajar seraya bermain”, hal ini merupakan cara yang paling efektif, karena dengan bermain anak dapat mengembangkan berbagai kreativitas anak didik di TK, termasuk perkembangan motorik halus anak, meningkatkan penalaran dan memahami keberadaan lingkungan, terbentuk imajinasi, mengikuti imajinasi, mengikuti peraturan, tata tertib dan disiplin. Dalam kegiatan bermain anak menggunakan seluruh aspek pancainderanya. Dengan bermain anak dapat menemukan lingkungan orang lain, dan menemukan dirinya sendiri, sehingga anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan tersebut, anak dapat menghargai orang lain, tenggang rasa terhadap orang lain, tolong menolong sesama teman dan yang lebih utama anak dapat menemukan pengalaman baru dalam kegiatan tersebut. Bermain dapat memotivasi anak untuk mengetahui segala sesuatu secara lebih mendalam, dan
secara spontan anak dapat mengembangkan bahasanya, dengan bermain anak
dapat bereksperimen.
          Kegiatan bermain di TK merupakan hal yang menyenangkan, kegiatan
belajar di TK adalah bermain yang kreatif dan menyenangkan. Dengan demikian
anak didik tidak akan canggung lagi menghadapi cara pembelajaran dijenjang
berikutnya. Dalam memberikan kegiatan belajar pada anak didik harus
diperhatikan kematangan atau tahap perkembang kreativitas anak didik, alat
bermain atau alat bantu, metode yang digunakan, serta waktu dan tempat
bermainya.
          Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith et all; Garvey; Rubin dan Vandenberg (dalam Tedja Saputra, dalam Yuliani, 2008: 16-17) diungkapkan beberapa ciri kegiatan bermain, antara lain dilakukan berdasar motivasi intrinsik ( Keinginan pribadi/minat) serta kepentingan sendiri,  perasaan dari orang yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai emosi-emosi positif, fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain, lebih menekankan proses yang berlangsung daripada hasil akhir, bebas memilih, dan mempunyai kualitas pura-pura. 
Bermain peran merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih. Hasil penelitian dan percobaan yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar  manusia, terutama yang menyangkut kehidupan anak didik. Misalnya saja kenapa ada sebagian dari anak didik sering bersikap agresif sehingga   mengganggu temannya secara fisik, verbal., maupun mental.
Menurut  Mulyasa (dalam Nurliana, 2010: 12) terdapat 4 asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Secara implisit, bermain peran mendukung suatu situasi belajar dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ”di sini pada saat ini”. Model ini percaya bahwa sekelompok anak didik dimungkinkan untuk menciptakan analogi mengenai suatu situasi kehidupan nyata. Terhadap analogi yang diwujudkan dalam bermain peran, para anak didik dapat mengambil respon emosional, sambil belajar dari respon orang lain.
2)      Bermain peran memungkinkan para anak didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanapa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran, sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran, peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
3)      Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para anak didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang terlalu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong anak didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
4)      Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa: sikap, nilai, perasaan dan sistem keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para anak didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para anak didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Mulyasa juga menyatakan bahwa terdapat 3 hal yang menentukan kualitas dan kefektifan bermain peran sebagai model pembelajaran, yakni: 1) kualitas pemeranan, 2) analisis dalam diskusi, 3)pandangan anak didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkandengan situasi kehidupan nyata.
          Shaftel (1967 dalam Mariani ,2009: 5 ) mengemukakan sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran, yaitu: 1) menghangatkan suasana dan memotivasi anak didik, 2) memilih partisipan/peran, 3) menyusun tahap-tahap peran, 4) menyiapkan pengamat, 5) pemeranan, 6) diskusi dan evaluasi, 7) pemeranan ulang, 8) diskusi dan evaluasi tahap dua, 9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan.
          Berdasarkan teori  di atas penulis kemudian membuat penyelesaiaan kasus yang  dialami kelompok yang penulis ampu (Kelompok B, TK Pertiwi 03 Ngadiluwih) dengan kegiatan bermain peran untuk mengatasi permasalahan perilaku anak agresif yang mengganggu teman lain pada saat pembelajaran
          Kegiatan bermain peran dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan  selama satu minggu (minggu terakhir bulan April 2011 ). Pembelajaran dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap apersepsi  , tahap inti permainan. tahap penutup. Pada tahap apersepsi, pendidik memberikan materi kepada anak didik yaitu memberikan cerita bermain peran yang hendak diterapkan. Cerita itu tentang moral mengenai perbuatan baik-buruk. Pada pertemuan I dan II  Cerita yang disampaikan bertutur tentang akibat perbuatan baik, suka menolong, berperilaku baik. Jika seseorang bertindak baik maka ia akan disukai teman-temannya. Sedang pada pertemuan ketiga dan keempat crita mengenai anakyang berperilaku buruk dan akibat yang diterimanya. Pendidik menyampaikan bercerita disertai gambar dan menjelaskan tentang tokoh dalam cerita. Selanjutnya pendidik menjelaskan bahwa anak didik akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menjadi pemeran dan sebagian yang lain menjadi pengamat. Pendidik menjelaskan cara menjadi pemeran dalam cerita dan cara menjadi pengamat dari cerita yang diperankan. Pendidik juga menjelaskan Metode Bermain Peran, kemudian menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Kelompok yang pada saat pertemuan perta,ma dan ketiga menjadi pengamat maka pada pertmuan kedua dan keempat mereka menjadi pemain. Demikian pula sebaliknya.
           Pada tahap  Inti Permainan, pendidik membagi kelas menjadi 2 kelompok.Kemudian masing-masing kelompok diberi tugas sesuai dengan bagiannya masing-masing.  Guru melakukan pijakan dan pengamatan  dengan meminta anak melakukan kegiatan sesuai tugas kelompoknya. Guru mengamati anak didik selama proses pembelajaran dan hasil dari penerapan Metode Bermain Peran. Nilai yang diperoleh anak didik pada tahap ini berupa pemahaman terhadap yang ditampilkan dari kegiatan bermain peran dan diskusi setelah kegiatan bermain peran selesai. Selain itu juga diharapkan terjadi perubahan perilaku dari beberapa anak didik yang sebelumnya suka untuk mengganggu temannya yang lain. Pada saat kegiatan bermain peran dilakukan  pendidik memberikan motivasi, gagasan dan inspirasi sehingga anak yang bermain peran bisa melakukan perannya dan tim pengamat pun bisa bekerja sama dengan kelompoknya untuk mengamati temannya bermain peran sehingga mereka bisa memberikan komentar atas permain peran teman mereka.
          Pada tahap Penutup tindakan langkah pembelajaran  dengan motivasi dan pemberian gagasan dari pendidik sehingga anak yang berasal dari kelompok pemeran bisa menceritakan pengalaman mainnya dan anak kelompok pengamat mampu memberikan komentar atas cerita dan permainan peran teman-teman mereka
          Menurut hasil pengamatan pda pertemuan pertama dan kedua, anak didik sedikit demi sedikit memahami cerita yang diperankan. Mereka terlihat cukup antusias dalam melakukan kegiatan bermain peran demikian juga kelompok pengamat. Masih ada beberapa anak didik yang terlihat kebingungan, baik dari kelompok pengamat maupun kelompok peemeran. Untuk itu, pendidik juga menjelaskan maksud dari alur cerita yang sedang diperankan oleh kelompok pemeran. Hanya tampak satu anak yang masih membuat gaduh, menyakiti teman (memukul dan berkata dengan keras) karena diingatkan teman yang lain
          Dengan melakukan kegiatan bermain peran ternyata juga dapat menumbuhkan kesadaran dari para anak didik untuk belajar dari hal-hal baru. Anak didik menjadi sangat antusias dalam mengikuti kegiatan ini, terutama dari kelompok pemeran. Pendidik sengaja untuk menjadikan beberapa anak didik yang kerap kali mengganggu temannya yang lain ke dalam kelompok pengamat. Hal ini dilakukan agar mereka dapat mengetahui akibat dari perbuatan buruk yang sering kali mereka lakukan kepada temannya, baik ketika sedang terjadi kegiatan belajar mengajar maupun ketika sedang istirahat. Pengamatan yang dilakukan pendidik menunjukkan tanda-tanda perubahan dari anak didik yang suka mengganggu setelah kegiatan bermain peran selesai.
         Tetapi masih ada beberapa anak didik yang terlihat kebingungan, terutama dari kelompok pengamat. Mereka sering tidak tahu apa dialog yang sedang diperankan dan tokoh yang sedang memerankan dialog tersebut. Oleh karena itu guru harus lebih melakukaan pijakan kepada kedua tim dengan banyak memberikan motivasi, gagasan, dan inspirasi kepada kedua tim tentang jalan cerita, isi dialog dan tokoh pemeran dengan baanyak meemberikan pendampingan kepada kedua belah pihak. Untuk itu pada pertemuan ketiga dan keempat  yang berikutnya, pendidik kemudian menjelaskan maksud dari alur cerita yang sedang diperankan oleh kelompok pemeran serta memberikan tuntunan kepada kelompok pemeran. Dalam pertemuan ketiga dan keempat  ini terdaapat perubahan yang cukup besar yaitu tidak ditemukannya anak yang mengganggu anak yang lain sama sekali karena semua anak tampak memperhatikan dan mendengaarkan serta melakukan semua tugas dalam kegiatan baik sebagai pemeran maupun pengamat.
          Kegiatan bermain peran merupakan kegiatan yang sangat menarik bagi anak didik. Walaupun dilakukan dengan sederhana, anak didik sagat menikmati kegiatan ini. Sesuai dengan tujuan dari kegiatan ini, upaya untuk menanggulangi perilaku dari beberapa anak didik yang suka mengganggu temannya yang lain dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, dari kegiatan ini juga dapat menyampaikan pesan moral dan nilai yang dianut dengan efektif dan menarik.Selain itu guru yang terus aktif memberikan pijakan kepada anak berupa gagasan tentang cerita,memberi inspirasi tentang tokoh dan peran, memotivasi anak sejak kegiatan apersepsi, kegiatan inti ( saat main peran berlangsung ), dan kegiatan akhir memberikan dampak yang bagus kepada anak.Anak menjadi percaya diri dalam bermain peran, mengetahui siapa dan bagaimana karakteristik tokoh  dan alur cerita yang diperankan. Sedangkan bagi tim pengamat, pijakan guru selama kegiatan membantu mereka memahami alur cerita yaang diamati, siapa tokoh daan bagaimana karakternya. Kesibukan mereka membuat mereka aktif dalam kegiatan daan pada akhirnya mereka pun ( baik tim pengamat maupun tim pemeran ) yang memahami alur cerita tentang perbuatan baik dan salah beserta  akibatnya (terutama tentang kebiasaan mengganggu orang lain ). Dengan memerankan tokoh dan mengamati permainan peran anak akan bisa memahaami karakterisasi tokoh, peran serta tokoh itu di dalam kehidupan, dampak atau konsekuensi yang diterimanya sebagai anggota masyarakat atas perilaku yang ia perbuat. Empat orang anak yang pada awalnya penulis kategorikan agresif ketika bergaul dengan temannya dengan menyhakiti secar fisik maupun verbal sehingga kadang-kadang mengganggu jalannya pembelajaran tidak menunjukkan perilaku tersebut ketika pembelajaran dengan kegiatan bermain peran berlangsung.
C.  Kesimpulan
  1. Fenomena yang ada di sekitar memperlihatkan tidak semua anak dapat melewati tahap perkembangannya dengan baik dan selalu bisa tumbuh menjadi anak yang menyenangkan.
  2. Anak didik Kelas B TK Pertiwi 03 Ngadiluwih  semester I tahun pelajaran 2010/2011 menunjukkan bahwa ada lima   anak didik sering kali mengganggu temannya yang lain dengan perilaku mereka yang agresif misalnya membuat gaduh kemudian marah sampai menghentak-hentakkan kaki atau menyakiti anak lain secara fisik maupun verbal bahkan suatu ketika anak-anak tersebut juga menyakiti guru secara fisik pada saat mereka ditegur ketika berlangsung kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran menjadi terganggu.
  3. Hasil penelitian dan percobaan yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar  manusia, terutama yang menyangkut kehidupan anak didik. Misalnya saja kenapa ada sebagian dari anak didik sering bersikap agresif sehingga   mengganggu temannya secara fisik, verbal., maupun mental.
  4. Kegiatan Bermain peran dilakukan dalam 4 kali pertemuan dengan membagi kelas menjadi dua kelompok: kelompok pemain dan kelompok pengamat dan kedua kelompok ini saling bertukar tugas di pertemuan berikutnya. Kegiatan dibagi menjadi tahap apersepsi (pijakan awal oleh guru kepada kelompok ), inti permainan dan penutup(berdiskusi tentang pengalaman main peran )
  5. Kegiatan bermain peran merupakan kegiatan yang sangat menarik bagi anak didik. Walaupun dilakukan dengan sederhana, anak didik sagat menikmati kegiatan ini. Sesuai dengan tujuan dari kegiatan ini, upaya untuk menanggulangi perilaku dari beberapa anak didik yang suka mengganggu temannya yang lain dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, dari kegiatan ini juga dapat menyampaikan pesan moral dan nilai yang dianut dengan efektif dan menarik

DAFTAR PUSTAKA

Mariani, Devi Sri. 2008. Bermain bagi Anak.  http://badriyadi.wordpress.com/proposal  
      (diakses Tanggal 8 Mei 2011)

Nurliana, Reni.2010.  Teknik Deprivasi sebagai Upaya Menangani Agresivitas.
        http://etd.eprint.ums.ac.12/7985/1/F 1000 500 23. diakses tanggal 2 Mei 2011

Patmonodewo, S. 1995. Buku ajar pendidikan prasekolah. Jakarta: Depdikbud.

      Diakses tanggal 6 Mei 2011
Tedjasaputra, M. 2001. Bermain, Mainan dan Permainan. Jakarta: PT. Grasindo.
Sujiyono, Yuliani Nurani.2008. Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta:
      Universitas Terbuka


PEMILIHAN BUKU PELAJARAN KOMUNIKATIF:  TANTANGAN GURU BAHASA DALAM PENERAPAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF
(Telaah Kritis terhadap Buku Choosing Your Coursebook, Karangan Alan Cunningsworth, Bab 10)

A.  Pendahuluan
      Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling ampuh untuk menjalin hubungan antara satu dengan yang lain, antara bangsa dengan bangsa lain. Dalam mempelajari bahasa, tidaklah mudah oleh karenanya diperlukan suatu pendekatan, metode, dan tehnik. Salah satu pendekatan dan metode yang pada dekade terakhir ini banyak dipakai oleh para pengajar bahasa baik di tingkat sekolah menengah maupun perguruan tinggi adalah pendekatan komunikatif.
      Munculnya istilah Communicative Approach berawal dari suatu artikel yang ditulis oleh Dell Hymes tahun 1972 yang berjudul On Communicative Competence, yang isinya menyangkut defenisi kemampuan komunikatif yaitu suatu penguasaan bahasa secara naluriah dan wajar dari seorang pemakai bahasa dalam berkomunikasi dengan orang lain dan dalam hubungan dengan konteks sosial (Nababan, 2005 : 63). Menurut Hymes, Communicative Competence diartikan sebagai “the knowledge of how to use the language appropriate to a given situation”. Karenanya apabila tujuan pengajaran bahasa beralih ke pengembangan kemampuan komunikatif siswa, maka perhatian guru harus dipusatkan kepada penggunaan bahasa itu sendiri (language use) untuk maksud-maksud komunikasi, dan bukan pada bentuk bahasa (usage). Sehingga pada penyajiannya tidak bersifat gramatika yang hanya memungkinkan siswa hanya dapat membuat kalimat-kalimat dengan benar. (Pateda 1991 : 86)
      Dalam pendekatan komunikatif yang menjadi acuan adalah kebutuhan akan bahasa siswa, bagaimana seorang siswa mampu berkomunikasi secara baik sesuai dengan fungsi bahasa itu sendiri jadi bukan tata bahasa.  Di sini  yang menjadi pusat kegiatan adalah siswa bukanlah guru, guru hanya sebagai pengawas atau motivator.
      Pembelajaran bahasa di sekolah harus berjalan ke arah kebijaksanaan yang telah disusun sebelumnya dalam bentuk kurikulum. Buku ajar atau buku pelajaran  yang merupakan salah satu komponen penting dalam mendukung keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas, juga harus disusun berdasarkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh kurikulum nasional. Di Indonesia pengembangan kurikulum bahasa  dapat dipetakan ke dalam lima periode, yakni: (1) Kurikulum tahun 1975; (2) Kurikulum tahun 1986; (3) Kurikulum tahun 1994; Kurikulum tahun 2004; dan (5) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu kepada standar nasional pendidikan. Dari kelima periode pengembangan kurikulum tersebut, landasan atau pendekatan yang digunakannya hanya mencakup tiga, yakni Pendekatan Audiolingual mewarnai kurikulum tahun 1963 hingga kurikulum 1975 , Pendekatan Komunikatif melandasai Kurikulum Tahun 1986 hingga tahun 1994, dan Pendekatan gabungan antara Pendekatan Komunikatif berbasis wacana dengan Pendekatan Literasi mewarnai naskah Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang bermuara pada naskah kurikulum tahun 2004.Kurikulum 2004 dan KTSP telah diarahkan menumbuhkan sikap apresiatif dan keterampilan ekspresif.  Buku ajar bukan hanya sekedar pelengkap kehadiran guru di dalam kelas.Bentuk-bentuk pelatihan lisan dan perbuatan sungguh merupakan  hal yang tidak mungkin dapat ditampilkan secara utuh dalam buku ajar yang selama ini cenderung memuat bahan yang lengkap karena sifatnya yang lebih mengutamakan aspek keterampilan tertulis kini harus berubah karena kurikulum tersebut secara seimbang akan melatih keterampilan bahasa secara lisan dan tertulis.
      Oleh karena itu dibutuhkan pengetahuan guru dalam memilih buku ajar atau buku pelajaran yang tepat dalam pembelajaran.  Pendekatan komunikatif  tidak menawarkan pada guru untuk menggunakan buku teks secara mutlak, guru harus memilih, menyelaraskan dan harus menemukan materi yang akan diberikan.
B.  Resume Isi Bab
Dalam bukunya yang berjudul ”Choosing Your Coursebook  Alan Cunningsworth menjelaskan dengan detail segala sesuatu tentang buku pelajaran untuk pelajaran bahasa termasuk apa,bagaimana buku pelajaran bahasa yang komunikatif.Berikut ini adalah resume bab 10  yang membahas tentang  Communicative Coursebook
1.  Tujuan Pengajaran Bahasa Komunikatif
      Pengajaran bahasa umumnya mengacu  pada tujuan komunikatif, praktik komunikatif, atau metodologi komunikatif. Begitu juga buku ajar. Sebagian besar besar buku ajar menekankan pada kebutuhan siswa untuk berkomunikasi secara efektif: Kebutuhan siswa untuk mengetahui bahwa bahasa yang akan mereka pelajari bisa membuat mereka mampu mengkomunikasikan kebutuhan, ide, dan pendapat mereka.
      Richards dan Rodgers menganggap   pengajaran bahasa komunikatif  lebih sebagai (dalam istilah mereka) sebuah pendekatan daripada sebuah metode. Perbedaan yang mereka buat adalah bahwa tidak ada seorang pun yang menerima metodologi untuk pengajaran bahasa komunikatif: hal itu bisa dilakukan dengan cara yang  berbeda,dan sifatnya yang luas dan komprehensif membuatnya  berada dalam pembahasan yang lebih besar daripada pendekatan dan metode. Tujuannya adalah untuk mewujudkn kompetensi komunikatif tujuan pengajaran bahasa dan mengembangkan prosedur untuk pengajaran empat keterampilan bahasa yang menunjukkan adanya saling ketergantungan antara bahasa dan komunikasi.
Landasan teoretisnya menurut Richards dan Rodgers, meliputi karakter berikut ini:
a.       Bahasa adalah sebuah sistem untuk menyatakan makna
b.      Fungsi utama bahasa adalah untuk interaksi dan komunikasi
c.       Struktur bahasa mencerminkan manfaat komunikatif dan fungsional
d.      Unsur-unsur  bahasa  tidak saja dalam bentuk struktur dan gramatikanya, tetapi juga kategori makna komunikatif dan fungsional sebagaimana yang terungkapdalam wacana
2.  Buku-Buku Pelajaran Komunikatif:  Desain dan isi
      Menyadari beberapa dari prinsip teoretis ini dalam materi pelajaran bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan, khususnya ketika ada kriteria persaingan yang harus diperhatikan, seperti memberi dasar yang bertahap tetapi menyeluruh dalam tatabahasa. Lebih dari itu, seperti yang kita telah kita lihat, bahan pelajaran yang bermacam-macam bisa menjadi komunikatif dengan cara yang berbeda. Buku pelajaran umum bisa berisi interaksi yang menunjukkan beberapa bentuk komunikasi dalam kehidupan nyata, sebuah buku tentang main peran bisa membentuk situasi realistis di mana pembelajar bisa berkomunikasi; bahan yang memfokuskan pada bahas tertulis bisa membentuk aktivitas realistis yang meliputi membaca dan menulis. Semuanya ini bisa dianggap komunikatif hingga isi yang lebih banyak atau sedikit.
      Buku pelajaran harus mampu menyajikan aktivitas komunikatif yang nyata,tetapi  penyajian aktivitas komunikatif,  sering didasarkan pada   informasi yang telah dibuat yang meliputi manfaat bahasa yang komunikatif dalam konteks kelas. Dalam hal ini lebih besar potensi transfer yang dimiliki, semakin bernilai pula aktivitas tersebut. Little Wood (1981)  membedakan antara aktivitas komunikasi pura-pura,aktivitas komunikasi fungsional, dan aktivitas interaksi sosial, setiap aktivitas tersebut menjadi menjadi sebuah tahapan yang lebih komunikatif daripada sebelumnya.
      Salah satu masalah utama yang ditemui penulis buku pelajaran dalam mengusahakan untuk mewujudkan komunikasi asli adalah kompleksita intrinsiknya yang tak bisa diprediksi dan relatif. Jika hal itu bisa diprediksikan semua, interaksi tidak perlu terjadi lagi kecuali kemungkinan untuk tujuan tertentu, karena partisipan akan mengetahui hasil sebelum dimulai. Tentu saja kita harus memahami keadaan tak dapat diprediksi tersebut sebagai karakter interaksi komunikatif yang berbeda, dan memperhatikan bagaimana buku pelajaran menuntun pembelajar menguasainya baik secara produktif maupun reseptif.
3.  Elemen yang Tidak Dapat Diprediksi: Studi kasus
      Mayoritas pembelajar dan pengajar belum begitu banyak menggunakan peralatan perangkat keras dan lunak, dan masih menggantungkan pada buku sebagai sumber materi utama. Pada keadaan ini guru tampak mempunyai peran yang lebih penting daripada biasanya dalam menjamin bahwa interaksi kelas tidak selalu sama dan dapat diprediksi.Buku pelajaran dapat membantu mengusahakan hal ini melalui penyediaan latihan latihan dan aktivitas komunikatif,memfokuskan pada interaksi lisan. Dalam hal ini  penanganan keadaan yang tidak dapat diprediksi sangat penting, saat pembatas waktu nyata muncul dan siswa harus memahami dan merespon dalam hitungn detik.
      Kebanyakan dalam buku pelajaran yang berlabel komunikatif dialog membentuk dasar aktivitas main peran, di mana isi dialog diciptakan dari memori. Bisa dilihat bahwa walaupun bentuk ini adalah praktik bahasa lisan, hanya ada sedikit yang bisa disebut komunikatif jika kita memasukkan keadaan yang tidak bisa diprediksi sebagai sifat utama interaksi komunikatif,  karena dialog semunya telah ditentukan,dan aktivitas siswa sama saja telah ditentukan sebelumnya.
Satu cara yang bermanfaat untuk membuat aktivitas buku pelajaran mendekati kehidupan nyata adalah menempatkan dialog dengan satu perangkat instruksi yang jika diikuti,akan memungkinkan dua atau lebih siswa bekerja bersama membuat conversation. Di sini mereka diberi tahu apa yang harus mereka katakan, tetapi bukan bagaimana mereka harus mengatakannya. Sehingga aaktivitas tidak seluruhnya komunikatif karena siswa mengatakan apa yang telah dikatakan kepada mereka dan bukan apa yang mereka sendiri memutuskan untuk mengatakannya. Tetapi hal ini merupakan praktik yang berharga dalam membuat wacana lisan dan membawa pada faktor-faktor drama seperti rencana strategis komunikasi, pembentukan kerangka wacana yang lebih panjang, dan elemen kooperatif yang perlu untuk pertukaran makna yang efektif dan pemahaman maksud pembicara.
      Satu cara yang bermanfaat untuk membuat aktivitas buku pelajaran mendekati kehidupan nyata adalah menempatkan dialog dengan satu perangkat instruksi yang jika diikuti,akan memungkinkan dua atau lebih siswa bekerja bersama membuat conversation. Di sini mereka diberi tahu apa yang harus mereka katakan, tetapi bukan bagaimana mereka harus mengatakannya. Sehingga aaktivitas tidak seluruhnya komunikatif karena siswa mengatakan apa yang telah dikatakan kepada mereka dan bukan apa yang mereka sendiri memutuskan untuk mengatakannya. Tetapi hal ini merupakan praktik yang berharga dalam membuat wacana lisan dan membawa pada faktor-faktor drama seperti rencana strategis komunikasi, pembentukan kerangka wacana yang lebih panjang, dan elemen kooperatif yang perlu untuk pertukaran makna yang efektif dan pemahaman maksud pembicara.
4.  Bahasa Buku pelajaran dan fungsi bahasa pada kehidupan nyata
     Conversation nyata kurang terstruktur dengan baik karena mengandung keraguan, kalimat tak lengakap.  Semua bentukitu tentu saja ciri khas bahasa lisan yang  dihasilkan oleh native speaker (pembicara asli ). Dalam  penelitian pada beberapa dialog natural yang btercatat  diketahui bahwa Tampak jelas bahwa  96% respon pada permintaan untuk menunjukkan jalan tidaklah mulai dengan memberikan petunjuk nyata, tetapi dimulai dengan beberapa pembuka.Pembuka ini kemudian selesai dengan penanda ’keterbacaa’yang mengindikasikan bahwa petunjuk merk sendiri sudah akan mulai.Ini biasanya nengambil bentuk atau jeda  (filler)  seperi um...okay.Bentuk petunjuk mereka sendiri bisa diprediksikan tetpi menunjukkan lebih banyak variasi dalam tipe daripada dalam dialog buku pelajaran. Pilihan yang dipilih adalah imperatif tetapi lebih dari 74% pembicara menggunakan lebih dari satu tipe dan lebih dari 51% menggunakan tiga atau lebih tipe. Ini termasuk you + verb (misalnya you go), you+auxilaary + main verb (misalnya you want to go up this street) dan tipe tak langsung seperti  The best way to go would be to...
      Walaupun mereka tidak akan menggunakan dengan tepat jenis conversation asli/alami yang telah kita lihat, dalam konteks ini buku pelajaran seharusnya memungkinkan pembelajar untuk memahami cara yang lebih spesifik dalam memberi petunjuk daripada yang terdapat di dalam dialog umumnya. Lebih dari itu penelitian itu menyarankan bahwa pembelajar akan membutuhkan lebih banyakpenggunaan bahasa untuk meminta petunjuk daripada permintaan awal saaja
5. Penyusunan percakapan
      Salah satu bagian dasar percakapan adalah giliran dan penggunaan giliran adalah kecakapan penting untuk siapa pun yang ingin mengambil bagian dalam conversation/percakapan. Faktanya penggunaan giliran muncul dengan pengaturan waktu detik di antara dua atau lebih orang menggambarkan bentuk kolaboratif percakapan dan menyarankan bahwa ada aturan dan konvensi untuk penggunaan giliran yang dibagi oleh semua anggota oleh semua anggota komunitas pidato. Pertama ada poin tertentu dalam percakapan (mungkin pada akhir klausa utama) di mana pembicara yang lain bisa masuk dan di mana pembicara sekarang paling tahu dalam interaksi Kedua, di mana interupsi muncul, pembicara mempunyai hak untuk memilih siapa yang berbicara beriutnya. Ketiga dia bisa melakukan ini dengan menggunakan kombinasi isyarat linguistik,paralingustik, dan kinestetik seperti memanggil pembicara yang dinominasikan dengan namanya, tau dengan penggunaan kontak mata. Buku pelajaran yang tertarik dalam memungkinkan pembelajar beraktivitas komunikatif bisa menyediakan model dan mempraktikkan penggunaan giliran dan teknik interupsi. Ini bisa meliputi identifikasi tempat di mana pembicara berikutnya bisa masuk, baik dinominasikan maupun tidak, mempelajari cara menominasikan pembicara berikutnya, dan mempelajari formula yang sesuai untuk menginterupsi.
Berlatih dengan pasangan berdekatan sejenis dalam dialog pendek yang realistis akan membantu pembelajar dalam keterampilan memprediksi dan mengembangkan kemampuan untuk merespon kenyataan. Buku pelajaran benar-benar memasukkan pasangan berdekatan tersebut dalam dialog dan percakapan mereka tetapi karena  selalu kita seharusnya meihat dengan seksama sejauh mana percakapan alami  bisa ditampilkan.
6.  Gaya dan ketepatan
Buku pelajaran yang mempunyai tujuan komunikatif diharapkan perhatiannya dalam masalah gaya dan kita harus menelitinya jika mereka melakukan seperti itu.
C.  Pembahasan Masalah
      Berdasarkan Buku ”Choosing Your Coursebook”  bab X perumusan masalah dalam makalah ini adalah:
  1. Apakah tujuan pengajaran bahasa komunikatif dalam buku-buku ajar/buku pelajaran?
  2. Bagaimanakah desain dan isi buku ajar/pelajaran  komunikatif?
  3. Apakah elemen/bagian yang tidak dapat diprediksi dalam buku ajar komunikatif?
  4. Bagaimanakah bahasa dalam buku ajar komunikatif?
  5. Bagaimanakah pengorganisasian percakapan dalam buku ajar komunikatif?
Berikut ini adalah telaah kritis pada  buku Choosing Your Coursebook  bab X.
1.  Tujuan Pengajaran bahasa Komunikatif
      Pembelajaran bahasa di sekolah harus berjalan ke arah kebijaksanaan nasional yang telah disususn sebelumnya dalam bentuk kurikulum. Buku ajar atau buku pelajaran yang merupakan salah satu komponen penting yang mendukung keberhasilan proses pembelajaran di kelas juga harus disusun berdasarkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh kurikulum nasional. Pengembangan kurikulum bahasa  dapat dipetakan ke dalam lima periode, yakni: (1) Kurikulum tahun 1975; (2) Kurikulum tahun 1986; (3) Kurikulum tahun 1994; Kurikulum tahun 2004; dan (5) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengacu kepada standar nasional pendidikan. Dari kelima periode pengembangan kurikulum tersebut, landasan atau pendekatan yang digunakannya hanya mencakup tiga, yakni Pendekatan Audiolingual mewarnai kurikulum tahun 1963 hingga kurikulum 1975 , Pendekatan Komunikatif melandasai Kurikulum Tahun 1986 hingga tahun 1994, dan Pendekatan gabungan antara Pendekatan Komunikatif berbasis wacana dengan Pendekatan Literasi mewarnai naskah Kurikulum 2004 dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang bermuara pada naskah kurikulum tahun 2004 (Sundayana, 2010:2).Kurikulum 2004 dan KTSP telah diarahkan menumbuhkan sikap apresiatif dan keterampilan ekspresif. 
      Konsep kompetensi komunikatif diangkat dari dikotomi Chomsky (1965) yang membedakan komponen penguasaan bahasa menjadi dua bagian, yaitu kompetensi (competence) dan performansi (performance) atau unjuk perbuatan. Selanjutnya, Chomsky (dalam Alwasilah, 2003:9) membedakan konsep performansi dan kompetensi dalam dua versi, yaitu versi kuat dan versi lemah (weak sense and strong sense). Versi kuat menyatakan bahwa kemampuan kompetensi deugan performansi pada diri seseorang saling berhubungan. Sebaliknya, dalam versi lemah diyakini bahwa kemampuan kompetensi dengan performansi tersebut tidak berhubungan.
      Kompetensi kebahasaan bertalian dengan pengetahuan penutur terhadap struktur bahasa sebagai suatu sistem dan merupakan kemampuan potensial dalam diri penutur. Melalui kemampuan potensial tersebut, penutur dapat menciptakan tuturan-tuturan, biasanya berupa kalimat-kalimat baru yang dapat dimengerti oleh Iawan bicaranya, walaupun bagi mitra tuturnya, kalimat-kalimat tersebut juga merupakan kalimat baru. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa kompetensi linguistik merupakan daya dorong untuk berbahasa secara kreatif.
      Meskipun revolusi Chomsky ini telah mendekati bentuk pendekatan yang berdasarkan kebermaknaan, namun baru pada akhir tahun enam puluhan diperkenalkan apa yang disebut sebagai Communicative Competence (Dell Hymes, 1966, dalam Alwasilah,2003:23), yang pada akhirnya melahirkan Communicative Approach. Menurut Hymes, Communicative Competence diartikan sebagai “the knowledge of how to use the language appropriate to a given situation”. Karenanya apabila tujuan pengajaran bahasa beralih ke pengembangan kemampuan komunikatif siswa, maka perhatian guru harus dipusatkan kepada penggunaan bahasa itu sendiri (language use) untuk maksud-maksud komunikasi, dan bukan pada bentuk bahasa (usage). Sehingga pada penyajiannya tidak bersifat gramatika yang hanya memungkinkan pelajar hanya dapat membuat kalimat-kalimat dengan benar. (Widdowsow, 1978).Dimensi lain yang muncul pada saat itu adalah adanya gagasan fungsional dan komunikatif. Pembelajaran bahasa tidak hanya sekadar bertujuan untuk menguasai kaidah-kaidah gramatikal, tetapi yang lebih penting ialah memiliki kompetensi komunikatif. Itulah sebabnya pendekatan audiolingual ditolak, pendekatan situasional dipertanyakan dan muncullah pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa.
      Guna mencapai maksud diatas, maka pada awal tahun tujuh-puluhan para pakar pengajaran bahasa mulai mengembangkan suatu pendekatan dalam pengajaran bahasa dengan berbagai perubahan dan penyempurnaan yang memungkinkan bagi siswa mampu berkomunikasi. Mereka menamakan penemuan ini dengan “Communicative Approach, atau (Pendekatan Komunikatif) (Littlewood, 1984). Para pakar tersebut mengambangkan program bahasa atas dasar sistem satuan kredit. Dalam program ini, materi pelajaran disusun dan dipecah-pecah menjadi satuan-satuan yang lebih kecil atas dasar kebutuhan pelajar untuk berkomunikasi. Satuan-satuan ini mewadahi tujuan-tujuan pengajaran bahasa, yaitu penguasaan ketrampilan dasar, dan penguasaan
ketrampilan khusus  (Van dan Alexander, 1980). Dalam pendekatan komunikatif, para siswa  diberikan kebebasan untuk mengepresikan apa yang mereka inginkan dari bahasa. Pendekatan ini juga membantu mereka dalam  mengintegrasikan diri dengan bahasa yang dipakai, seakan bahasa tersebut adalah milik mereka, sehingga mereka bebas untuk mempergunakannya. Dengan kata lain bahwa pendekatan ini memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pelajar untuk untuk berinprovisasi dalam berbahasa. Secara spesifik pendekatan ini memberikan kita petunjuk tidak hanya dalam pemakaian terma-terma struktural seperti --Grammar dan Vocabulary--tetapi lebih dari itu ia memberikan petunjuk tentang terma-terma fungsi komunikatif, karena dalam pendekatan komunikatif, penekanan pengajarannya bukan pada pengetahuan tentang bahasa tetapi pada pengajaran bahasa atau kebermaknaan bahasa itu sendiri. (Littlewood 1984).Berdasarkan keterangan di atas, maka para siswa harus mengembangkan strategi tentang bagaimana menyatukan kaidah-kaidah bahasa (structure) ke dalam fungsi komunikasi dalam keseharian mereka. Mereka selalu dituntut untuk berperan aktif dalam segala situasi, tidak menunggu adanya perintah dari guru. Mereka bebas dalam berkomunikasi dan berimprovisasi tanpa harus takut salah atau disalahkan.
      Menurut Johnson (1982, dalam Alwasilah, 2015:4), Pengajaran bahasa dengan Pendekatan Komunikatif lebih bersifat humanistik karena sentralisasi kegiatan belajar lebih berpusat pada mereka sendiri dibandingkan guru,--learner centred rather than teacher centred--dan guru dalam proses ini lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator, pelajar diberi kebebasan, otonomi, tanggung jawab dan kreatifitas yang besar dalam proses belajar. Sebagai seorang fasilitator guru harus mengkoordinir kegiatan belajar dan harus bisa menjamin bahwa proses belajar mengajar bisa berjalan dengan lancar. Dalam kegiatan komunikasi, guru berperan sebagai individu yang diharapkan dapat memberi nasehat, memantau kegiatan pelajar, menentukan latihan dan memberikan bimbingan
      Tujuannya pengajaran komunikatif menurut Richards dan Rodgers (Cunningsworth, 1995), ada dua dalam satu kesatuan:  untuk mewujudkan kompetensi komunikatif tujuan pengajaran bahasa dan mengembangkan prosedur untuk pengajaran empat keterampilan bahasa yang menunjukkan adanya saling ketergantungan antara bahasa dan komunikasi. Hal ini menurut Richards dan Rodgers (dalam Cunningsworthh, 1995) berlandaskan pada teori bahwa
a.       Bahasa adalah sebuah sistem untuk menyatakan makna
b.      Fungsi utama bahasa adalah untuk interaksi dan komunikasi
c.       Struktur bahasa mencerminkan manfaat komunikatif dan fungsional.Unsur-unsur  bahasa  tidak saja dalam bentuk struktur dan gramatikanya, tetapi juga kategori makna komunikatif dan fungsional sebagaimana yan terungkapdalam wacana
      Menurut Syafei (1997:41) pembelajaran bahasa yang didasarkan atas pendekatan komunikatif hendaknya dimulai dari uraian prosedur yang bersifat umum sampai kepada yang bersifat khusus berkenaan dengan aspek pembelajaran bahasa. Jadi, secara umum tujuan pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan komunikatif adalah mempersiapkan pembelajaran untuk melakukan interaksi yang bermakna dengan cara mengikhtiarkan pembelajar untuk mampu memahami dan menggunakan bahasa secara alamiah.
      Hal ini juga diungkapkan oleh Azies (1996:7) yang mengatakan bahwa kemampuan siswa menggunakan bahasa secara aktual dan alamiah merupakan tujuan utama penerapan pendekatan komunikatif. Jadi, salah satu tugas guru dalam pembelajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif adalah mengusahakan terjadinya peristiwa berbahasa secara alamiah.  
      Dalam kaitannya dengan pemilihan buku ajar komunikatif, di dalam buku ajar komunikatif harus menampilkan tujuan pengajaran komunikatif itu sendiri. Seperti pada buku Headway Intermediate yang mewujudkannya pada apa yang sering disebut sebagai metodologi komunikatif :
-         Siswa tertantang secara kognitif
-         Mereka terlibat dalamproses pembelajaran
-         Mereka diminta memberi pendapat, pengalaman, dan perasaan mereka sendiri
-         Mereka mengambil bagian dalam aktivitas nyata dan realistis
-         Mereka didorong untuk bekerja sama dengan teman
-         Mereka didorong untuk memiliki tanggung jawab atas pembelajaran mereka sendiri dan mengembangkan kecakapan/ketermpilan  pembelajaran mereka
-         Guru mengambil peran berbeda-beda (sebagai pemberi informasi, memonitor proses pembelajaran, dan narasumber) tergantung pada tahapan pembelajrannya.
Cunningsworth sendiri merekomendasikan pertanyaan-pertanyaan yang harus kita jawab ketika kita mengamati sebuah buku ajar yang menamamakan dirinya ’komunikatif’ apakah pendekatan dan tujuannya telah sesuaisebagai berikut.
a.    apakah tujuan buku ajar itu sesuai dengan tujuan pembelajaran dan
 kebutuhan para siswa ?
b.   apakah tujuan buku ajar sesuai dengan situasi belajar mengajar?
c.   seberapaluaskah cakupan bahannya?
d.   apakah buku itu cukup fleksibel?
e.   apakah buku itu memberikan kesempatan untuk menggunakan gaya mengajar
belajar yang berbeda-beda
2.  Desain dan isi Buku Ajar Komunikatif
      Bahan ajar atau buku pelajaran merupakan media instruksional yang dominant perannya di kelas dan bagian sentral dalam sistem pendidikan (Aziez, 1996: 46). Ini disebabkan buku merupakan alat yang penting untuk menyampaikan materi kurikulum. Kebutuhan akan buku teks menempati skala prioritas yang paling utama. Apabila siswa akan diajarkan mengembangkan daya pikirannya sendiri, sekolah harus memiliki buku-buku lain di samping buku-buku teks.
      Hal ini pantas dipahami jika diingat bahwa dalam konteks pendidikan di Indonesia buku ajar tidak saja berperan sebagai sumber ajar yang menyediakan materi pembelajaran, tetapi bahkan berfungsi sebagai silabus. Ia memberikan panduan instruksional kepada guru, yang memungkinkan mereka mengajar tanpa harus melihat silabus. Inilah yang banyak dilakukan oleh guru di Indonesia. Dengan demikian, kualitas pengajaran mereka sangat bergantung pada buku ajar (Aziez, 1996: 21).
Berkenaan dengan prosedur pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan komunikatif ini dalam bahan ajar , Finochiaro (dalam Syafei, 1997:15) menawarkan rangkaian kegiatan pembelajaran bahasa yang terdiri atas sembilan subkegiatan. Kesembilan subkegiatan tersebut adalah: (1) penyajian dialog singkat, (2) pelatihan lisan dialog, (3) tanya jawab, (4) pengkajian, (5) penarikan simpulan, (6) aktivitas interpretatif, (7) aktivitas produksi lisan, (8) pemberian tugas tertulis, dan (9) evaluasi pembelajaran dilakukan secara lisan.
      Buku ajar komunikatif harus mampu menyajikan aktivitas komunikatif yang nyata.Tetapi hal yang sering terjadi adalah buku ajar yang mengaku ’komunikatif’menampilkan manfaat bahasa yang komunikatif dalam konteks kelas. Contoh dari hal ini adalah membaca potongan gambar dan mendengarkan potongan cerita ,yang merupakan aktivitas bermanfaat untuk mempromosikan fungsi bahasa komunikatif, tetapi tidak didasarkan terjadinya situasi komunikasi kehidupan nyata yang umum. Menurut Littlewood (dalam Cunningsworth, 1995), buku ajar komunikatif disebut mampu menampilkan pengajaran bahasa komunikatif bila desain dan isinya berada pada tingkat interaksi sosial di mana faktor-faktor kompleks seperti pembentukan wacana dan perencanaan strategis komunikasi diwujudkan dalam praktik dan mendemonstrasikan pentingnya menyiapkan pembelajar pada  proses aktif dan dinamis untuk  berpartisipasi dalam pembentukan wacana. Sejauhmana pengalihan  partisipasi dalam penentuan dialog buku pelajaran tidak selalu diketahui, dan keterampilan tambahan yang dibutuhkan untuk melaksanakan secara efektif sering dilupakan, kemungkinan karena mereka hanya digambarkan sketsanya saja dan dipahami pada posisi pengetahuan kita sekarang.
      Salah satu masalah utama yang ditemui penulis buku pelajaran dalam mengusahakan untuk mewujudkan komunikasi asli adalah kompleksita intrinsiknya yang tak bisa diprediksi dan relatif. Tentu saja kita harus memahami keadaan tak dapat diprediksi tersebut sebagai karakter interaksi komunikatif yang berbeda, dan memperhatikan bagaimana buku pelajaran menuntun pembelajar menguasainya baik secara produktif maupun reseptif.
Tahun 1983 Brumfit dan Finocchiaro (dalam Azies, 1996:67) mengemukakan ciri-ciri penerapan pendekatan komunikatif dengan mempertentangkannya dengan Metode Audio-lingual (lazim disingkat MA) yang tujuannya adalah untuk menjelaskan konsep pendekatan komunikatif itu. Ciri-ciri penerapan pendekatan komunikatif tersebut dalam pembelajaran adalah: (1) makna merupakan ha1 yang terpenting, (2) percakapan kalau digunakan harus berpusat di sekitar fungsifungsi komunikatif dan tidak dihafalkan secara normal, (3) kontekstualisasi merupakan premis utama, (4) belajar bahasa berarti berkomunikasi, (5) komunikasi efektif dianjurkan, (6) latihan penubian (drill) diperbolehkan, tetapi jangan terlalu memberatkan, (7) ucapan yang dapat dipahami sangat diutamakan, (8) setiap alat bantu para pembelajar diterima dengan baik, (9) segala upaya untuk berkomunikasi dapat didorong sejak awal, (10) penggunaan bahasa secara bijaksana dapat diterima bila memang layak, (11) terjemahan boleh digunakan kalau dibutuhkan siswa atau mereka benar-benar memperoleh keuntungan dari itu, (12) membaca dan menulis dapat dimulai sejak awal bila diinginkan, (13) sistem linguistik bahasa target akan dapat dipelajari dengan sangat baik melalui usaha berkomunikasi, (14) kompetensi komunikatifmerupakan tujuan, (15) variasi linguistik merupakan konsep inti dalam materi dan metodologi, (16) pengurutan  ditentukan oleh pertimbangan mengenai isi, fungsi, atau makna yang memperbesar minat, (17) guru menolong para pembelajar sedemikian rupa sehingga dapat mendorong mereka bekerja dengan bahasa itu, (18) bahasa diciptakan oleh individu sering melalui proses trial-error, (19) kefasihan dan bahasa yang berterima merupakan tujuan utama, ketepatan dinilai dalam konteks bukan dalam keabstrakan,  (20) para pembelajar diharapkan berinteraksi dengan orang lain melalui kelompok atau pasangan, lisan dan tulis, (21) guru tidak dapat mengetahui secara tepat bahasa apa yang akan dipakai siswa, dan (22) motivasi instrinsik akan muncul dari minat terhadap apa yang dikomunikasikan dengan bahasa.
      Untuk dapat memilih buku ajar bahasa yang memenuhi persyaratan komunikatif maka kita harus menelaahnya dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai desain dan isi buku sebagai berikut (Cunningsworth, 1995): 1) Apakah buku pelajaran ini menyatakan diri menjadi buku komunikatif pada
tujuannya, 2) Apakah tujuan komunikatif khusus atau tujuan-tujuan yang diindikasikan  secara umum atau dengan unit-unit tersendiri, 3) Apakah silabus buku pelajaran umumnya komunikatif ( misalnya dengan menggunakan aktivitas komunikatif,fungsi, dll sebagaimana dalamunit-unit yang utama, 4) Apakah ada referensi untuk menunjukkan metodologi, 5)Apakah ada bukti bahwa desain buku pelajaran dipengaruhi pertimbangan komunikatif  (misalnya penekanan yang diberikan untuk aktivitas komunikatif, penggunaan bahan otentik dan tugas yang realistis), 6) Jika aktivitas komunikatif digunakan sebagai bahan pembelajaran, apakah aktivitas tersebut nyata, terdapat kaitan dengan dunia nyata, atau realistis,  yaitu komunikatif hanya dalam situasi kelas saja)
3.  Elemen/Bagian yang Tidak Dapat Diprediksi dalam Buku Ajar Komunikatif
      Seperti telah dinyatakan sebelumnya bahwa  salah satu masalah utama yang ditemui penulis buku pelajaran dalam mengusahakan untuk mewujudkan komunikasi asli adalah kompleksita intrinsiknya yang tak bisa diprediksi dan relatif. Dalam hal ini buku pelajaran komunikatif harus  dapat membantu mengusahakan hal ini melalui penyediaan latihan latihan dan aktivitas komunikatif,memfokuskan pada interaksi lisan, sebuah area di mana penanganan keadaan yang tidak dapat diprediksi sangat penting, saat pembatas waktu nyata muncul dan siswa harus memahamidan merespon dalam hitungn detik (Cunningsworth,1995)
      Dicontohkan oleh Cunningsworth bagaimana elemen tak dapat diprediksi tersebut muncul dalambuku ajar. Salah satu contoh adalah dalam Grapevine.Siswa diharapkan mendengarkan dan memahami,mengerjakan beberapa pengulangan selektif, membaca dialog dalam hati,dan membacanya berpasangan. Pada tahapan berikutnya, dialog membentuk dasar aktivitas main peran, di mana isi dialog diciptakan dari memori. Bisa dilihat bahwa walaupun bentuk ini adalah praktik bahasa lisan, hanya ada sedikit yang bisa disebut komunikatif jika kita memasukkan keadaan yang tidak bisa diprediksi sebagai sifat utama interaksi komunikatif,  karena dialog semunya telah ditentukan,dan aktivitas siswa sama saja telah ditentukan sebelumnya. Buku ajar komunikatif harus dapat membantu menyelesaikan  masalah  ini melalui penyediaan latihan latihan dan aktivitas komunikatif,memfokuskan pada interaksi lisan,sebuah area di mana penanganan keadaan yang tidak dapat diprediksi sangat penting, saat pembatas waktu nyata muncul dan siswa harus memahamidan merespon dalam hitungn detik.
      Elemen keadaan yang tak dapat diprediksi,walaupun bukan kesempatan bagi siswa untuk mengatakan apa yang mereka inginkan, dibentuk untuk aktivitas kartu isyarat dari Cambridge Advance English yang kita lihat pada bab 6 (halaman 69) dengan cara mudah membagi membagi  instruksi kepada siswa yang berbeda-beda, berpartisipasi, meletakkaannya pada halaman yang berbeda-beda di bagian belakang buku. Setiap siswa hanya melihat instruksinya sendiri dan tentu saja tidak dapat melihat apa yang orang lain ingin katakan. Dalam cara ini, praktik bagus diberikan dengan mengungkapkan diri sendiri dan merespon dengan cepat dan efektif pada apa yang orang lain katakan sambil membuat rencana untuk sebuah interaksi yang terkontrol dengan baik.
4.  Bahasa dalam Buku Ajar Komunikatif
      Karena buku pelajaran ada untuk menyiapkan pembelajar menggunakan Bahasa Inggris secara mandiri pada dunia nyata, maka  dapat dibenarkan membandingkan model penggunaan bahasa yang mereka sajikan dengan contoh-contoh penggunaan bahasa kehidupan nyata sejauh bisa diusahakan.
      Umumnya conversation nyata kurang terstruktur dengan baik karena mengandung keraguan, kalimat tak lengakap.  Semua bentuk itu tentu saja ciri khas bahasa lisan yang  dihasilkan oleh native speaker (pembicara asli ).
      Dalam contoh memberikan petunjuk, bentuk petunjuk mereka sendiri bisa diprediksikan tetapi menunjukkan lebih banyak variasi dalam tipe daripada dalam dialog buku pelajaran. Pilihan yang dipilih adalah imperatif tetapi lebih dari 74% pembicara menggunakan lebih dari satu tipe dan lebih dari 51% menggunakan tiga atau lebih tipe. Ini termasuk you + verb (misalnya you go), you+auxilaary + main verb (misalnya you want to go up this street) dan tipe tak langsung seperti  The best way to go would be to...
      Buku ajar  seharusnya memungkinkan pembelajar untuk memahami cara yang lebih spesifik dalam memberi petunjuk daripada yang terdapat di dalam dialog umumnya. Lebih dari itu penelitian itu menyarankan bahwa pembelajar akan membutuhkan lebih banyak penggunaan bahasa untuk meminta petunjuk daripada permintaan awal saja.
     Dalam memeriksa apakah buku ajar bisa dianggap menggunakan pendekatan komunikatif dilihat dari keterampilan bahasa, perlu menggunakan pertanyaan-pertanyaan berikut ini.
a.       Apakah meliputi keempat keterampilan bahasa sesuai dengan tujuan
pembelajaran dan kurikulum?
b.      Apakah materi keempat keterampilan bahasa itu dilakukan secara terpadu?
c.       Apakah keterampilan serta aktivitas yang bertalian dengannya sesuai minat, tingkat kemampuan atau yang lainnya?
d.      Apakah materi pembelajaran sudah memadai?
e.       Apakah materi menyimak telah terekam mendekati aslinya diikuti dengan latar belakang informasi,pertanyaan, serta kegiatan yang akan memmbantu pemahaman?
f.        Apakah materi berbicara (dialog,bermain peran, dan sebagainya) disesai secara wajarsehingga dapat diperguanakan pembelajar untuk berkomunikasi secara alami?
g.       Apakah materi kegiatan menulis terpelihara dengan baik keakurasiannya, pengorganisasian tulisan seperti pemaragrafan, serta pemilihan gaya penulisan yang tepat?
5.  Pengorganisasian Percakapan dalam Buku Ajar Komunikatif
      Salah satu bagian dasar percakapan adalah giliran dan penggunaan giliran adalah kecakapan penting untuk siapa pun yang ingin mengambil bagian dalam conversation/percakapan. Faktanya penggunaan giliran muncul dengan pengaturan waktu detik di antara dua atau lebih orang menggambarkan bentuk kolaboratif percakapan dan menyarankan bahwa ada aturan dan konvensi untuk penggunaan giliran yang dibagi oleh semua anggota oleh semua anggota komunitas pidato.
      Konvensi belum sepenuhnya dipahami, tetapi beberapa bentuk yang jelas telah diidentifikasi yang relevan dengan pengajaran bahaasa. Pertama ada poin tertentu dalam percakapan (mungkin pada akhir klausa utama) di mana pembicara yang lain bisa masuk dan di mana pembicara sekarang paling tahu dalam interaksi. Kedua, di mana interupsi muncul, pembicara mempunyai hak untuk memilih siapa yang berbicara berikutnya. Ketiga dia bisa melakukan ini dengan menggunakan kombinasi isyarat linguistik,paralingustik, dan kinestetik seperti memanggil pembicara yang dinominasikan dengan namanya, tau dengan penggunaan kontak mata. Buku pelajaran yang tertarik dalam memungkinkan pembelajar beraktivitas komunikatif bisa menyediakan model dan mempraktikkan penggunaan giliran dan teknik interupsi. Ini bisa meliputi identifikasi tempat di mana pembicara berikutnya bisa masuk, baik dinominasikan maupun tidak, mempelajari cara menominasikan pembicara berikutnya, dan mempelajari formula yang sesuai untuk menginterupsi.
Berikut ini adalah pertanyaan untuk mengetahui interaksi sosial dalam buku ajar komunikatif
a.    Bagian komunikasi asli apakah yang muncul : bagian yang tidak dapat
diprediksi, kesempatan untuk mengekspresikan informasi nyata, perasaan, pendapat dan sebagainya, kesmpatan pembelajar untuk membentuk wacana mereka sendiri, perlu memformulasikan dan menggunakan komunikasi, menekankan kerja sama antara pembicara dengan interaksi komunikatif?
b.   Pada level tertentu, apakah buku ajar mengandung materi yang mewujudkan
interaksi komunikatif dengan memperhatikan: struktur wacana interaksi (meliputi pembuka, konfirmasi, penutup, dll), kompleksitas struktur, rentang leksis yang sesuai, bentuk-bentuk seperti  jeda (filler) dan kalimat tak lengkap, peran pembicara dalam interaksi?
d.      Apakah materi itu membantu pembelajar dalam pergantian giliran percakapan?
e.       Apakah pasangan berdekatan dimasukkan dalam materi presentasi dan praktik? Jika ya apakah ada contoh kerangka (bagian yang dimasukkan)?
f.        Apakah ada contoh-contoh bagian yang terpilih  ini ?
g.       Apakah bantuan lain  diberikan dengan pengorganisasian dan penyususnan interaksi lisan percakapan?
D.  Simpulan dan Saran
1.   Simpulan
·        Secara umum tujuan pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan komunikatif adalah mempersiapkan pembelajaran untuk melakukan interaksi yang bermakna dengan cara mengikhtiarkan pembelajar untuk mampu memahami dan menggunakan bahasa secara alamiah.
·        Buku ajar komunikatif disebut mampu menampilkan pengajaran bahasa komunikatif bila desain dan isinya berada pada tingkat interaksi sosial di mana faktor-faktor kompleks seperti pembentukan wacana dan perencanaan strategis komunikasi diwujudkan dalam praktik dan mendemonstrasikan pentingnya menyiapkan pembelajar pada  proses aktif dan dinamis untuk  berpartisipasi dalam pembentukan wacana.
·        Salah satu masalah utama yang ditemui penulis buku pelajaran dalam mengusahakan untuk mewujudkan komunikasi asli adalah kompleksita intrinsiknya yang tak bisa diprediksi dan relatif. Dalam hal ini buku pelajaran komunikatif harus  dapat membantu mengusahakan hal ini melalui penyediaan latihan latihan dan aktivitas komunikatif,memfokuskan pada interaksi lisan, sebuah area di mana penanganan keadaan yang tidak dapat diprediksi sangat penting, saat pembatas waktu nyata muncul dan siswa harus memahamidan merespon dalam hitungan detik
·        Bahasa dalam buku ajar komunikatif harus menampilkan keadaan dalam kehidupan yang nyata sehingga memungkinkan pembelajar untuk memahami cara yang lebih spesifik dalam memberi petunjuk, dalam mengambilgiliran berbicara daripada yang terdapat di dalam dialog umumnya
·        Buku ajar komunikatif harus menampilkan bagian komunikasi asli : bagian yang tidak dapat  diprediksi, kesempatan untuk mengekspresikan informasi nyata, perasaan, pendapat dan sebagainya, kesmpatan pembelajar untuk membentuk wacana mereka sendiri, perlu memformulasikan dan menggunakan komunikasi, menekankan kerja sama antara pembicara dengan interaksi komunikatif
2.  Saran
·        Pendekatan komunikatif tidak menawarkan pada guru untuk menggunakan buku ajar secara mutlak, guru harus memilih, menyelaraskan dan harus menemukan materi yang akan diberikan
·        Guru seharusnya bisa memperhatikan desain dan isi buku ajar komunikatif di mana faktor-faktor kompleks seperti pembentukan wacana dan perencanaan strategis komunikasi diwujudkan dalam praktik dan mendemonstrasikan pentingnya menyiapkan pembelajar pada  proses aktif dan dinamis untuk  berpartisipasi dalam pembentukan wacana. Hal itu juga memerlukan kreaativitas guru dalam mengembangkan bahan ajar.
·        Bagian yang tak dapat diprediksi dalam wacana dialog di dalam buku ajar harus dapat diatasi guru dengan pengembangan bahan ajaar yang memungkinkan siswa memahami dan merespon dialog dalam hitingan detik
·        Guru harus bisa menjadi fasilitator dan motivator sehingga siswa bisa mengambil bagian dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa  memahami dan merespon wacana
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar dan Hobir Abdullah, 2003. Revitalisasi Pendidikan Bahasa.
Bandung: STBA Yapari ABA Press.

Azies, Furqanul & A. Chaedar Alwasilah. 1996. Pengajaran Bahasa Komunikatif.  
Bandung :Remaja Rosdakarya.

Cunningsworth. Alan. 1995. Chosing Your Coursebook. Oxford: Heinemann

Littlewood, W., 1984. Communicative Language Teaching, Cambridge :
Cambridge University Press.

Nababan, Sri Utari Subyakto. 2005.  Metodologi Pengajaran Bahasa, Gramdeia Jakarta.

Pateda, Mansur. 1991. Linguistik Terapan, Nusa indah, Florres Indonesia.

Richards, Jack C. dan Rogers. 2002. Approaches and Methods in Language Teaching.
 Cambride: Cambride University Press.

Sundayana,Wahyu. 2010.  Landasan pengembangan Kurikulum Bahasa. Materi
Perkuliahan. Tersedia dalam file upi.edu (diunduh tanggal 4 Januari 2012).

Syafei,Moh. 1977. Pendekatan Komunikatif dalam Pengajaran Bahasa. Bandung: CV
Rosda Karya.

Van and Alexander L.G., 1980. Thresold Level English, England Pergamon
Press

Widowsow, H.G., (ed) 1986. Material and Methodology : Design Principle for A
Communicative Grammar, Practice of Teaching, United Kingdom: Pergamon Bool Ltd., C.J. Brumfit,.