Rabu, 01 Agustus 2012

Agresivitas Anak Usia Dini dan Kegiatan Bermain Peran


KEGIATAN BERMAIN PERAN SEBAGAI  UPAYA UNTUK  MENGATASI PERILAKU ANAK AGRESIF YANG  MENGGANGGU TEMAN SAAT PEMBELAJARAN

A.  Pendahuluan
          Usia Prasekolah (4-6 tahun)  adalah usia yang rentan bagi anak. Pada usia ini anak mempunyai sifat imitasi atau meniru terhadap apapun yang telah dilihatnya. Orang-orang dewasa yang paling dekat dengan anak adalah orang tua. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak yang mempunyai pengaruh sangat besar. Lingkungan sangat besar pengaruhnya sebagai stimulans dalam perkembangan anak. Orang tua mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan kepribadian anak.
          Kenyataan yang terjadi di masyarakat, bahwa tanpa disadari semua perilaku serta kepribadian orang tua yang baik ataupun tidak ditiru oleh anak. Anak tidak mengetahui apakah yang telah dilakukanya baik atau tidak. Karena anak usia prasekolah belajar dari apa yang telah dia lihat. Pembelajaran tentang sikap, perilaku dan bahasa yang baik sehingga akan terbentuknya kepribadian anak yang baik pula, perlu diterapkan sejak dini. Orang tua merupakan pendidik yang paling utama, guru serta teman sebaya yang merupakan lingkungan kedua bagi anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978  dalam Mariani, 2010:3) dalam  yang mengungkapkan bahwa orang yang paling penting bagi anak adalah orang tua, guru dan teman sebaya karena dari merekalah anak mengenal sesuatu yang baik dan tidak baik.   
          Taman kanak-kanak (TK) merupakan pendidikan pra-sekolah yang diselenggarakan bagi anak usia 4-6 tahun (Patmonodewo, 2003). Penyelenggaraan taman kanak-kanak bukan merupakan pra-syarat untuk memasuki jenjang sekolah dasar, akan tetapi penyediaan program pendidikan dini Taman Kanak-Kanak ini dimaksudkan untuk mempersiapkan anak memasuki dunia belajar, sehingga anak akan relatif lebih siap untuk belajar di sekolah dasar daripada anak yang langsung masuk ke SD tanpa melalui TK. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran di TK adalah belajar sambil bermain dan bermain seraya belajar. Dalam hal ini, juga dikembangkan kemampuan berinteraksi anak dengan anak-anak lain dari kalangan dan keluarga yang berbeda. Dengan adanya pola interaksi sosial seperti ini dapat memberikan bekal kepada anak ketika bersosialisasi dengan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya (Fatihah, dalam  Sessiani, 2005). 
          Akan tetapi pada kenyataannya akan banyak  ditemukan juga bahwa tidak semua hal berjalan sesuai dengan harapan dan rencana apalagi ketika mulai muncul berbagai perilaku yang tidak diharapkan. Bagi anak di TK kebutuhan sosial merupakan suatu syarat untuk pertumbuhan jiwa, yang apabila tidak terpenuhi akan menghambat  perkembangan jiwa anak. Kebutuhan sosial ini tidak dapat terpenuhi sckedar mempersatukan anak yang sebaya dalam satu kelas untuk mcndengarkan uarian-uraian guru. Yang dibutuhkan oleh anak adalah seorang guru yang dapat mengerti dan menyayangi mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
          Selama berinteraksi dengan lingkungan di sekitarnya, diharapkan anak selalu berperilaku yang baik serta patuh terhadap norma-norma yang berlaku di
masyarakat dengan perilaku yang lazim dilakukan anak-anak seusianya. Menurut Havighurst (1984 dalam Nurliana, 2010: 3) tugas-tugas perkembangan anak usia taman kanak-kanak yang berkaitan dengan interaksi sosial anak antara lain: a) belajar bergaul dengan teman sebaya, b) mempelajari peranan sosial seorang laki-laki atau perempuan dan c) belajar mengambil bagian secara bertanggung jawab.
          Fenomena yang ada di sekitar memperlihatkan tidak semua anak dapat melewati tahap perkembangannya dengan baik dan selalu bisa tumbuh menjadi anak yang menyenangkan. Izzaty (2006,dalam Nurliana, 2010 3) mengungkapkan bahwa ada permasalahan yang dapat muncul pada perilaku anak-anak seperti perilaku yang tidak adaptif, merusak, serta mengganggu diri sendiri dan lingkungan.
          Hal di atas sesuai dengan yang diungkapkan oleh Qaimi (2002 dalam Nurliana, 2010: 5) tentang teori usia kenakalan bahwa kenakalan anak cepat terbentuk pada usia-usia muda, para orang tua dan pendidik harus tanggap dan memahami bagaimana kepribadian anak-anak mereka ketika mereka menunjukkan tanda-tanda kenakalan. Qaimi menambahkan bahwa seorang anak akan mulai nampak menunjukkan tanda-tanda kenakalannya ketika anak berusia empat sampai enam bulan, dan secara bertahap pada usia 2,5 tahun anak hanya memiliki kecenderungan untuk melawan (orang tuanya, misalnya), di usia tiga tahun selain cenderung melawan anak juga memiliki keinginan untuk menundukkan orang lain, kemudian pada usia 4 tahun  anak tengah berada dalam kondisi kenakalannya, misalnya ketika anak marah ia menghentak-hentakkan kakinya di tanah, berteriak dan selalu menentang perintah. Ketika anak menunjukkan perilaku seperti ini menurut Izzaty (2006,dalam Nurliana: 5) anak sedang berada pada area permasalahan yang juga sering muncul pada anak-anak yaitu area conduct dan restless yang salah satunya adalah agresivitas.
          Dalam pembelajaran, guru dan anak didik sering kali dihadapkan pada berbagai masalah sosial, baik yang berkaitan dengan  pembelajaran maupun yang menyangkut hubungan sosial. Guru yang kreatif senantiasa mencari pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang monoton.
          Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan secara intensif sejak awal masuk sekolah di semester II hingga pertengahan semester, anak didik Kelas B TK Pertiwi 03 Ngadiluwih  semester I tahun pelajaran 2010/2011 menunjukkan bahwa ada lima   anak didik sering kali mengganggu temannya yang lain dengan perilaku mereka yang agresif misalnya membuat gaduh kemudian marah sampai menghentak-hentakkan kaki atau menyakiti anak lain secara fisik maupun verbal bahkan suatu ketika anak-anak tersebut juga menyakiti guru secara fisik pada saat mereka ditegur ketika berlangsung kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran menjadi terganggu.Hal itu terjadikarena dengan adanya peristiwa tersebut ada anak lain yang menjadi ‘korban’ agresivitas anak tersebut secara fisik , selain itu anak-anak yang lain menjadi terganggu karena tentu saja hal tersebut menjadi preseden buruk buat anak-anak usia dini yang berada pada usia suka meniru. Penulis khawatir bila perilaku anak tersebut dibiarkan akan membuat anak yang lain juga meniru perilaku tersebut. Untuk itu penulis harus segera membuat satu penyelesaian kasus tersebut dengan tetap memperhatikan kebutuhan anakuntuk selalu memdapatkan stimulasi perkembangan kecerdasannya dengan perumusan masalah :
  1. Apakah kegiatan bermain peran mampu mengatasi perilaku agresif anak kelompok B TK periwig 03 Ngadiluwih?
  2. Bagaimanakh kegiatan bermain peran mengatasi perilaku agresif  anak yang mengganggu pembelajaran?
B.  Solusi
          Taman Kanak-kanak didirikan sebagai usaha mengembangkan seluruh segi
kepribadian anak didik dalam rangka menjembatani pendididkan dalam keluarga ke pendidikan sekolah. TK merupakan salah satu bentuk pendidikan prasekolah adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik diluar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar.
          Kegiatan di Taman Kanak-kanak tentunya sangat berbeda dengan kegiatan pembelajaran di Sekolah Dasar. Kegiatan di TK dilaksanakan dengan cara bermain sesuai dengan prinsip TK yaitu “bermain sambil belajar, dan belajar seraya bermain”, hal ini merupakan cara yang paling efektif, karena dengan bermain anak dapat mengembangkan berbagai kreativitas anak didik di TK, termasuk perkembangan motorik halus anak, meningkatkan penalaran dan memahami keberadaan lingkungan, terbentuk imajinasi, mengikuti imajinasi, mengikuti peraturan, tata tertib dan disiplin. Dalam kegiatan bermain anak menggunakan seluruh aspek pancainderanya. Dengan bermain anak dapat menemukan lingkungan orang lain, dan menemukan dirinya sendiri, sehingga anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan tersebut, anak dapat menghargai orang lain, tenggang rasa terhadap orang lain, tolong menolong sesama teman dan yang lebih utama anak dapat menemukan pengalaman baru dalam kegiatan tersebut. Bermain dapat memotivasi anak untuk mengetahui segala sesuatu secara lebih mendalam, dan
secara spontan anak dapat mengembangkan bahasanya, dengan bermain anak
dapat bereksperimen.
          Kegiatan bermain di TK merupakan hal yang menyenangkan, kegiatan
belajar di TK adalah bermain yang kreatif dan menyenangkan. Dengan demikian
anak didik tidak akan canggung lagi menghadapi cara pembelajaran dijenjang
berikutnya. Dalam memberikan kegiatan belajar pada anak didik harus
diperhatikan kematangan atau tahap perkembang kreativitas anak didik, alat
bermain atau alat bantu, metode yang digunakan, serta waktu dan tempat
bermainya.
          Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith et all; Garvey; Rubin dan Vandenberg (dalam Tedja Saputra, dalam Yuliani, 2008: 16-17) diungkapkan beberapa ciri kegiatan bermain, antara lain dilakukan berdasar motivasi intrinsik ( Keinginan pribadi/minat) serta kepentingan sendiri,  perasaan dari orang yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai emosi-emosi positif, fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain, lebih menekankan proses yang berlangsung daripada hasil akhir, bebas memilih, dan mempunyai kualitas pura-pura. 
Bermain peran merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih. Hasil penelitian dan percobaan yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar  manusia, terutama yang menyangkut kehidupan anak didik. Misalnya saja kenapa ada sebagian dari anak didik sering bersikap agresif sehingga   mengganggu temannya secara fisik, verbal., maupun mental.
Menurut  Mulyasa (dalam Nurliana, 2010: 12) terdapat 4 asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut adalah sebagai berikut:
1)      Secara implisit, bermain peran mendukung suatu situasi belajar dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi ”di sini pada saat ini”. Model ini percaya bahwa sekelompok anak didik dimungkinkan untuk menciptakan analogi mengenai suatu situasi kehidupan nyata. Terhadap analogi yang diwujudkan dalam bermain peran, para anak didik dapat mengambil respon emosional, sambil belajar dari respon orang lain.
2)      Bermain peran memungkinkan para anak didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanapa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran, sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran, peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
3)      Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para anak didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang terlalu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong anak didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
4)      Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa: sikap, nilai, perasaan dan sistem keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para anak didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para anak didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.
Mulyasa juga menyatakan bahwa terdapat 3 hal yang menentukan kualitas dan kefektifan bermain peran sebagai model pembelajaran, yakni: 1) kualitas pemeranan, 2) analisis dalam diskusi, 3)pandangan anak didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkandengan situasi kehidupan nyata.
          Shaftel (1967 dalam Mariani ,2009: 5 ) mengemukakan sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam pembelajaran, yaitu: 1) menghangatkan suasana dan memotivasi anak didik, 2) memilih partisipan/peran, 3) menyusun tahap-tahap peran, 4) menyiapkan pengamat, 5) pemeranan, 6) diskusi dan evaluasi, 7) pemeranan ulang, 8) diskusi dan evaluasi tahap dua, 9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan.
          Berdasarkan teori  di atas penulis kemudian membuat penyelesaiaan kasus yang  dialami kelompok yang penulis ampu (Kelompok B, TK Pertiwi 03 Ngadiluwih) dengan kegiatan bermain peran untuk mengatasi permasalahan perilaku anak agresif yang mengganggu teman lain pada saat pembelajaran
          Kegiatan bermain peran dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan  selama satu minggu (minggu terakhir bulan April 2011 ). Pembelajaran dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap apersepsi  , tahap inti permainan. tahap penutup. Pada tahap apersepsi, pendidik memberikan materi kepada anak didik yaitu memberikan cerita bermain peran yang hendak diterapkan. Cerita itu tentang moral mengenai perbuatan baik-buruk. Pada pertemuan I dan II  Cerita yang disampaikan bertutur tentang akibat perbuatan baik, suka menolong, berperilaku baik. Jika seseorang bertindak baik maka ia akan disukai teman-temannya. Sedang pada pertemuan ketiga dan keempat crita mengenai anakyang berperilaku buruk dan akibat yang diterimanya. Pendidik menyampaikan bercerita disertai gambar dan menjelaskan tentang tokoh dalam cerita. Selanjutnya pendidik menjelaskan bahwa anak didik akan dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok yang menjadi pemeran dan sebagian yang lain menjadi pengamat. Pendidik menjelaskan cara menjadi pemeran dalam cerita dan cara menjadi pengamat dari cerita yang diperankan. Pendidik juga menjelaskan Metode Bermain Peran, kemudian menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Kelompok yang pada saat pertemuan perta,ma dan ketiga menjadi pengamat maka pada pertmuan kedua dan keempat mereka menjadi pemain. Demikian pula sebaliknya.
           Pada tahap  Inti Permainan, pendidik membagi kelas menjadi 2 kelompok.Kemudian masing-masing kelompok diberi tugas sesuai dengan bagiannya masing-masing.  Guru melakukan pijakan dan pengamatan  dengan meminta anak melakukan kegiatan sesuai tugas kelompoknya. Guru mengamati anak didik selama proses pembelajaran dan hasil dari penerapan Metode Bermain Peran. Nilai yang diperoleh anak didik pada tahap ini berupa pemahaman terhadap yang ditampilkan dari kegiatan bermain peran dan diskusi setelah kegiatan bermain peran selesai. Selain itu juga diharapkan terjadi perubahan perilaku dari beberapa anak didik yang sebelumnya suka untuk mengganggu temannya yang lain. Pada saat kegiatan bermain peran dilakukan  pendidik memberikan motivasi, gagasan dan inspirasi sehingga anak yang bermain peran bisa melakukan perannya dan tim pengamat pun bisa bekerja sama dengan kelompoknya untuk mengamati temannya bermain peran sehingga mereka bisa memberikan komentar atas permain peran teman mereka.
          Pada tahap Penutup tindakan langkah pembelajaran  dengan motivasi dan pemberian gagasan dari pendidik sehingga anak yang berasal dari kelompok pemeran bisa menceritakan pengalaman mainnya dan anak kelompok pengamat mampu memberikan komentar atas cerita dan permainan peran teman-teman mereka
          Menurut hasil pengamatan pda pertemuan pertama dan kedua, anak didik sedikit demi sedikit memahami cerita yang diperankan. Mereka terlihat cukup antusias dalam melakukan kegiatan bermain peran demikian juga kelompok pengamat. Masih ada beberapa anak didik yang terlihat kebingungan, baik dari kelompok pengamat maupun kelompok peemeran. Untuk itu, pendidik juga menjelaskan maksud dari alur cerita yang sedang diperankan oleh kelompok pemeran. Hanya tampak satu anak yang masih membuat gaduh, menyakiti teman (memukul dan berkata dengan keras) karena diingatkan teman yang lain
          Dengan melakukan kegiatan bermain peran ternyata juga dapat menumbuhkan kesadaran dari para anak didik untuk belajar dari hal-hal baru. Anak didik menjadi sangat antusias dalam mengikuti kegiatan ini, terutama dari kelompok pemeran. Pendidik sengaja untuk menjadikan beberapa anak didik yang kerap kali mengganggu temannya yang lain ke dalam kelompok pengamat. Hal ini dilakukan agar mereka dapat mengetahui akibat dari perbuatan buruk yang sering kali mereka lakukan kepada temannya, baik ketika sedang terjadi kegiatan belajar mengajar maupun ketika sedang istirahat. Pengamatan yang dilakukan pendidik menunjukkan tanda-tanda perubahan dari anak didik yang suka mengganggu setelah kegiatan bermain peran selesai.
         Tetapi masih ada beberapa anak didik yang terlihat kebingungan, terutama dari kelompok pengamat. Mereka sering tidak tahu apa dialog yang sedang diperankan dan tokoh yang sedang memerankan dialog tersebut. Oleh karena itu guru harus lebih melakukaan pijakan kepada kedua tim dengan banyak memberikan motivasi, gagasan, dan inspirasi kepada kedua tim tentang jalan cerita, isi dialog dan tokoh pemeran dengan baanyak meemberikan pendampingan kepada kedua belah pihak. Untuk itu pada pertemuan ketiga dan keempat  yang berikutnya, pendidik kemudian menjelaskan maksud dari alur cerita yang sedang diperankan oleh kelompok pemeran serta memberikan tuntunan kepada kelompok pemeran. Dalam pertemuan ketiga dan keempat  ini terdaapat perubahan yang cukup besar yaitu tidak ditemukannya anak yang mengganggu anak yang lain sama sekali karena semua anak tampak memperhatikan dan mendengaarkan serta melakukan semua tugas dalam kegiatan baik sebagai pemeran maupun pengamat.
          Kegiatan bermain peran merupakan kegiatan yang sangat menarik bagi anak didik. Walaupun dilakukan dengan sederhana, anak didik sagat menikmati kegiatan ini. Sesuai dengan tujuan dari kegiatan ini, upaya untuk menanggulangi perilaku dari beberapa anak didik yang suka mengganggu temannya yang lain dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, dari kegiatan ini juga dapat menyampaikan pesan moral dan nilai yang dianut dengan efektif dan menarik.Selain itu guru yang terus aktif memberikan pijakan kepada anak berupa gagasan tentang cerita,memberi inspirasi tentang tokoh dan peran, memotivasi anak sejak kegiatan apersepsi, kegiatan inti ( saat main peran berlangsung ), dan kegiatan akhir memberikan dampak yang bagus kepada anak.Anak menjadi percaya diri dalam bermain peran, mengetahui siapa dan bagaimana karakteristik tokoh  dan alur cerita yang diperankan. Sedangkan bagi tim pengamat, pijakan guru selama kegiatan membantu mereka memahami alur cerita yaang diamati, siapa tokoh daan bagaimana karakternya. Kesibukan mereka membuat mereka aktif dalam kegiatan daan pada akhirnya mereka pun ( baik tim pengamat maupun tim pemeran ) yang memahami alur cerita tentang perbuatan baik dan salah beserta  akibatnya (terutama tentang kebiasaan mengganggu orang lain ). Dengan memerankan tokoh dan mengamati permainan peran anak akan bisa memahaami karakterisasi tokoh, peran serta tokoh itu di dalam kehidupan, dampak atau konsekuensi yang diterimanya sebagai anggota masyarakat atas perilaku yang ia perbuat. Empat orang anak yang pada awalnya penulis kategorikan agresif ketika bergaul dengan temannya dengan menyhakiti secar fisik maupun verbal sehingga kadang-kadang mengganggu jalannya pembelajaran tidak menunjukkan perilaku tersebut ketika pembelajaran dengan kegiatan bermain peran berlangsung.
C.  Kesimpulan
  1. Fenomena yang ada di sekitar memperlihatkan tidak semua anak dapat melewati tahap perkembangannya dengan baik dan selalu bisa tumbuh menjadi anak yang menyenangkan.
  2. Anak didik Kelas B TK Pertiwi 03 Ngadiluwih  semester I tahun pelajaran 2010/2011 menunjukkan bahwa ada lima   anak didik sering kali mengganggu temannya yang lain dengan perilaku mereka yang agresif misalnya membuat gaduh kemudian marah sampai menghentak-hentakkan kaki atau menyakiti anak lain secara fisik maupun verbal bahkan suatu ketika anak-anak tersebut juga menyakiti guru secara fisik pada saat mereka ditegur ketika berlangsung kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran menjadi terganggu.
  3. Hasil penelitian dan percobaan yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar  manusia, terutama yang menyangkut kehidupan anak didik. Misalnya saja kenapa ada sebagian dari anak didik sering bersikap agresif sehingga   mengganggu temannya secara fisik, verbal., maupun mental.
  4. Kegiatan Bermain peran dilakukan dalam 4 kali pertemuan dengan membagi kelas menjadi dua kelompok: kelompok pemain dan kelompok pengamat dan kedua kelompok ini saling bertukar tugas di pertemuan berikutnya. Kegiatan dibagi menjadi tahap apersepsi (pijakan awal oleh guru kepada kelompok ), inti permainan dan penutup(berdiskusi tentang pengalaman main peran )
  5. Kegiatan bermain peran merupakan kegiatan yang sangat menarik bagi anak didik. Walaupun dilakukan dengan sederhana, anak didik sagat menikmati kegiatan ini. Sesuai dengan tujuan dari kegiatan ini, upaya untuk menanggulangi perilaku dari beberapa anak didik yang suka mengganggu temannya yang lain dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, dari kegiatan ini juga dapat menyampaikan pesan moral dan nilai yang dianut dengan efektif dan menarik

DAFTAR PUSTAKA

Mariani, Devi Sri. 2008. Bermain bagi Anak.  http://badriyadi.wordpress.com/proposal  
      (diakses Tanggal 8 Mei 2011)

Nurliana, Reni.2010.  Teknik Deprivasi sebagai Upaya Menangani Agresivitas.
        http://etd.eprint.ums.ac.12/7985/1/F 1000 500 23. diakses tanggal 2 Mei 2011

Patmonodewo, S. 1995. Buku ajar pendidikan prasekolah. Jakarta: Depdikbud.

      Diakses tanggal 6 Mei 2011
Tedjasaputra, M. 2001. Bermain, Mainan dan Permainan. Jakarta: PT. Grasindo.
Sujiyono, Yuliani Nurani.2008. Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta:
      Universitas Terbuka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar