KEGIATAN
BERMAIN PERAN SEBAGAI UPAYA UNTUK MENGATASI PERILAKU ANAK AGRESIF YANG MENGGANGGU TEMAN SAAT PEMBELAJARAN
A. Pendahuluan
Usia Prasekolah (4-6 tahun) adalah usia yang rentan bagi anak. Pada usia
ini anak mempunyai sifat imitasi atau meniru terhadap apapun yang telah
dilihatnya. Orang-orang dewasa yang
paling dekat dengan anak adalah orang tua. Keluarga merupakan lingkungan
pertama dan utama bagi anak yang mempunyai pengaruh sangat besar. Lingkungan
sangat besar pengaruhnya sebagai stimulans dalam perkembangan anak. Orang tua
mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan kepribadian anak.
Kenyataan yang terjadi di masyarakat, bahwa tanpa disadari semua
perilaku serta kepribadian orang tua yang baik ataupun tidak ditiru oleh anak.
Anak tidak mengetahui apakah yang telah dilakukanya baik atau tidak. Karena
anak usia prasekolah belajar dari apa yang telah dia lihat. Pembelajaran
tentang sikap, perilaku dan bahasa yang baik sehingga akan terbentuknya
kepribadian anak yang baik pula, perlu diterapkan sejak dini. Orang tua
merupakan pendidik yang paling utama, guru serta teman sebaya yang merupakan
lingkungan kedua bagi anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1978 dalam Mariani, 2010:3) dalam yang mengungkapkan bahwa orang yang paling
penting bagi anak adalah orang tua, guru dan teman sebaya karena dari merekalah
anak mengenal sesuatu yang baik dan tidak baik.
Taman kanak-kanak (TK) merupakan
pendidikan pra-sekolah yang diselenggarakan bagi anak usia 4-6 tahun (Patmonodewo,
2003). Penyelenggaraan taman kanak-kanak bukan merupakan pra-syarat untuk
memasuki jenjang sekolah dasar, akan tetapi penyediaan program pendidikan dini
Taman Kanak-Kanak ini dimaksudkan untuk mempersiapkan anak memasuki dunia
belajar, sehingga anak akan relatif lebih siap untuk belajar di sekolah dasar
daripada anak yang langsung masuk ke SD tanpa melalui TK. Beberapa
prinsip yang harus diperhatikan dalam pembelajaran di TK adalah belajar sambil
bermain dan bermain seraya belajar. Dalam hal ini, juga dikembangkan kemampuan
berinteraksi anak dengan anak-anak lain dari kalangan dan keluarga yang
berbeda. Dengan adanya pola interaksi sosial seperti ini dapat memberikan bekal
kepada anak ketika bersosialisasi dengan lingkungan dan masyarakat di sekitarnya
(Fatihah, dalam Sessiani, 2005).
Akan tetapi pada kenyataannya akan banyak
ditemukan juga bahwa tidak semua hal berjalan sesuai dengan harapan dan
rencana apalagi ketika mulai muncul berbagai perilaku yang tidak diharapkan.
Bagi anak di TK kebutuhan sosial merupakan suatu syarat untuk pertumbuhan jiwa,
yang apabila tidak terpenuhi akan menghambat
perkembangan jiwa anak. Kebutuhan sosial ini tidak dapat terpenuhi
sckedar mempersatukan anak yang sebaya dalam satu kelas untuk mcndengarkan
uarian-uraian guru. Yang dibutuhkan oleh anak adalah seorang guru yang dapat
mengerti dan menyayangi mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Selama berinteraksi dengan lingkungan di
sekitarnya, diharapkan anak selalu berperilaku yang baik serta patuh terhadap
norma-norma yang berlaku di
masyarakat
dengan perilaku yang lazim dilakukan anak-anak seusianya. Menurut Havighurst
(1984 dalam Nurliana, 2010: 3) tugas-tugas perkembangan anak usia taman
kanak-kanak yang berkaitan dengan interaksi sosial anak antara lain: a) belajar
bergaul dengan teman sebaya, b) mempelajari peranan sosial seorang laki-laki
atau perempuan dan c) belajar mengambil bagian secara bertanggung jawab.
Fenomena yang ada di sekitar memperlihatkan tidak semua anak dapat melewati
tahap perkembangannya dengan baik dan selalu bisa tumbuh menjadi anak yang
menyenangkan. Izzaty (2006,dalam Nurliana, 2010 3) mengungkapkan bahwa ada
permasalahan yang dapat muncul pada perilaku anak-anak seperti perilaku yang
tidak adaptif, merusak, serta mengganggu diri sendiri dan lingkungan.
Hal di atas sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Qaimi (2002 dalam Nurliana, 2010: 5) tentang teori usia
kenakalan bahwa kenakalan anak cepat terbentuk pada usia-usia muda, para orang
tua dan pendidik harus tanggap dan memahami bagaimana kepribadian anak-anak
mereka ketika mereka menunjukkan tanda-tanda kenakalan. Qaimi menambahkan bahwa
seorang anak akan mulai nampak menunjukkan tanda-tanda kenakalannya ketika anak
berusia empat sampai enam bulan, dan secara bertahap pada usia 2,5 tahun anak
hanya memiliki kecenderungan untuk melawan (orang tuanya, misalnya), di usia
tiga tahun selain cenderung melawan anak juga memiliki keinginan untuk
menundukkan orang lain, kemudian pada usia 4 tahun anak tengah berada dalam kondisi kenakalannya,
misalnya ketika anak marah ia menghentak-hentakkan kakinya di tanah, berteriak
dan selalu menentang perintah. Ketika anak menunjukkan perilaku seperti
ini menurut Izzaty (2006,dalam Nurliana: 5) anak sedang berada pada area
permasalahan yang juga sering muncul pada anak-anak yaitu area conduct dan
restless yang salah satunya adalah agresivitas.
Dalam
pembelajaran, guru dan anak didik sering kali dihadapkan pada berbagai masalah
sosial, baik yang berkaitan dengan pembelajaran
maupun yang menyangkut hubungan sosial. Guru yang kreatif senantiasa mencari
pendekatan baru dalam memecahkan masalah, tidak terpaku pada cara tertentu yang
monoton.
Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan secara intensif sejak awal masuk sekolah di
semester II hingga pertengahan semester, anak didik Kelas B TK Pertiwi 03
Ngadiluwih semester I tahun pelajaran
2010/2011 menunjukkan bahwa ada lima anak didik sering kali mengganggu temannya
yang lain dengan perilaku mereka yang agresif misalnya membuat gaduh kemudian
marah sampai menghentak-hentakkan kaki atau menyakiti anak lain secara fisik
maupun verbal bahkan suatu ketika anak-anak tersebut juga menyakiti guru secara
fisik pada saat mereka ditegur ketika berlangsung kegiatan belajar mengajar
sehingga pembelajaran menjadi terganggu.Hal itu terjadikarena dengan adanya
peristiwa tersebut ada anak lain yang menjadi ‘korban’ agresivitas anak
tersebut secara fisik , selain itu anak-anak yang lain menjadi terganggu karena
tentu saja hal tersebut menjadi preseden buruk buat anak-anak usia dini yang
berada pada usia suka meniru. Penulis khawatir bila perilaku anak tersebut
dibiarkan akan membuat anak yang lain juga meniru perilaku tersebut. Untuk itu
penulis harus segera membuat satu penyelesaian kasus tersebut dengan tetap memperhatikan
kebutuhan anakuntuk selalu memdapatkan stimulasi perkembangan kecerdasannya
dengan perumusan masalah :
- Apakah kegiatan bermain peran mampu mengatasi perilaku agresif anak kelompok B TK periwig 03 Ngadiluwih?
- Bagaimanakh kegiatan bermain peran mengatasi perilaku agresif anak yang mengganggu pembelajaran?
B. Solusi
Taman Kanak-kanak
didirikan sebagai usaha mengembangkan seluruh segi
kepribadian
anak didik dalam rangka menjembatani pendididkan dalam keluarga ke pendidikan
sekolah. TK merupakan salah satu bentuk pendidikan prasekolah adalah pendidikan
untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik
diluar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar.
Kegiatan di Taman
Kanak-kanak tentunya sangat berbeda dengan kegiatan pembelajaran di Sekolah
Dasar. Kegiatan di TK dilaksanakan dengan cara bermain sesuai dengan prinsip TK
yaitu “bermain sambil belajar, dan belajar seraya bermain”, hal ini merupakan
cara yang paling efektif, karena dengan bermain anak dapat mengembangkan
berbagai kreativitas anak didik di TK, termasuk perkembangan motorik halus
anak, meningkatkan penalaran dan memahami keberadaan lingkungan, terbentuk
imajinasi, mengikuti imajinasi, mengikuti peraturan, tata tertib dan disiplin. Dalam
kegiatan bermain anak menggunakan seluruh aspek pancainderanya. Dengan bermain
anak dapat menemukan lingkungan orang lain, dan menemukan dirinya sendiri,
sehingga anak dapat bersosialisasi dengan lingkungan tersebut, anak dapat
menghargai orang lain, tenggang rasa terhadap orang lain, tolong menolong
sesama teman dan yang lebih utama anak dapat menemukan pengalaman baru dalam
kegiatan tersebut. Bermain dapat memotivasi anak untuk mengetahui segala sesuatu
secara lebih mendalam, dan
secara spontan anak dapat mengembangkan bahasanya, dengan
bermain anak
dapat bereksperimen.
Kegiatan
bermain di TK merupakan hal yang menyenangkan, kegiatan
belajar di TK adalah bermain yang kreatif dan
menyenangkan. Dengan demikian
anak didik tidak akan canggung lagi menghadapi cara
pembelajaran dijenjang
berikutnya. Dalam memberikan kegiatan belajar pada anak
didik harus
diperhatikan kematangan atau tahap perkembang kreativitas
anak didik, alat
bermain atau alat bantu, metode yang digunakan, serta
waktu dan tempat
bermainya.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
oleh Smith et all; Garvey; Rubin dan Vandenberg (dalam Tedja
Saputra, dalam Yuliani, 2008: 16-17) diungkapkan beberapa ciri kegiatan
bermain, antara lain dilakukan berdasar motivasi intrinsik ( Keinginan
pribadi/minat) serta kepentingan sendiri, perasaan dari orang yang terlibat dalam
kegiatan bermain diwarnai emosi-emosi positif, fleksibilitas yang
ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain, lebih
menekankan proses yang berlangsung daripada hasil akhir, bebas memilih,
dan mempunyai kualitas pura-pura.
Bermain peran merupakan salah satu alternatif yang dapat dipilih. Hasil
penelitian dan percobaan yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa
bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif
dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada pemecahan
masalah yang menyangkut hubungan antar
manusia, terutama yang menyangkut kehidupan anak didik. Misalnya saja
kenapa ada sebagian dari anak didik sering bersikap agresif sehingga mengganggu temannya secara fisik, verbal.,
maupun mental.
Menurut Mulyasa
(dalam Nurliana, 2010: 12) terdapat 4 asumsi yang mendasari pembelajaran
bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial yang
kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi
tersebut adalah sebagai berikut:
1)
Secara
implisit, bermain peran mendukung suatu situasi belajar dengan menitikberatkan
isi pelajaran pada situasi ”di sini pada saat ini”. Model ini percaya bahwa
sekelompok anak didik dimungkinkan untuk menciptakan analogi mengenai suatu
situasi kehidupan nyata. Terhadap analogi yang diwujudkan dalam bermain peran,
para anak didik dapat mengambil respon emosional, sambil belajar dari respon
orang lain.
2) Bermain peran memungkinkan para anak didik
untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanapa bercermin pada
orang lain. Mengungkapkan
perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari
psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun
demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks
pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran
memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan
kegiatan utama dan integral dari pembelajaran, sedangkan dalam psikodrama,
pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama.
Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada
bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran, peran keduanya memegang
peranan yang sangat penting dalam pembelajaran.
3) Model bermain peran
berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian
ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang
tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang
sedang diperankan. Dengan demikian, para anak didik dapat belajar dari
pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya
dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu,
model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang terlalu mendominasi
pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong anak
didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama
bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.
4) Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi,
berupa: sikap, nilai, perasaan dan sistem keyakinan, dapat diangkat ke taraf
sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para anak
didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah
sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan
orang lain, para anak didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang
dimilikinya.
Mulyasa juga menyatakan bahwa
terdapat 3 hal yang menentukan kualitas dan kefektifan bermain peran sebagai
model pembelajaran, yakni: 1) kualitas pemeranan, 2) analisis dalam diskusi,
3)pandangan anak didik terhadap peran yang ditampilkan dibandingkandengan
situasi kehidupan nyata.
Shaftel (1967 dalam Mariani ,2009: 5 )
mengemukakan sembilan tahap bermain peran yang dapat dijadikan pedoman dalam
pembelajaran, yaitu: 1) menghangatkan suasana dan memotivasi anak didik, 2)
memilih partisipan/peran, 3) menyusun tahap-tahap peran, 4) menyiapkan
pengamat, 5) pemeranan, 6) diskusi dan evaluasi, 7) pemeranan ulang, 8) diskusi
dan evaluasi tahap dua, 9) membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan.
Berdasarkan teori di atas penulis kemudian membuat
penyelesaiaan kasus yang dialami
kelompok yang penulis ampu (Kelompok B, TK Pertiwi 03 Ngadiluwih) dengan kegiatan
bermain peran untuk mengatasi permasalahan perilaku anak agresif yang
mengganggu teman lain pada saat pembelajaran
Kegiatan bermain peran dilaksanakan
dalam 4 kali pertemuan selama satu
minggu (minggu terakhir bulan April 2011 ). Pembelajaran dilakukan dalam tiga tahap yaitu tahap apersepsi , tahap inti permainan. tahap penutup. Pada
tahap apersepsi, pendidik memberikan materi kepada anak didik yaitu memberikan cerita
bermain peran yang hendak diterapkan. Cerita itu tentang moral mengenai perbuatan
baik-buruk. Pada pertemuan I dan II Cerita yang
disampaikan bertutur tentang akibat perbuatan baik, suka menolong, berperilaku
baik. Jika seseorang bertindak baik maka ia akan disukai teman-temannya. Sedang
pada pertemuan ketiga dan keempat crita mengenai anakyang berperilaku buruk dan
akibat yang diterimanya. Pendidik
menyampaikan bercerita disertai gambar dan menjelaskan tentang tokoh dalam
cerita. Selanjutnya pendidik menjelaskan bahwa anak didik akan dibagi menjadi
dua kelompok yaitu kelompok yang menjadi pemeran dan sebagian yang lain menjadi
pengamat. Pendidik menjelaskan cara menjadi pemeran dalam cerita dan cara
menjadi pengamat dari cerita yang diperankan. Pendidik juga menjelaskan Metode Bermain
Peran, kemudian menerapkannya dalam kegiatan belajar mengajar. Kelompok yang
pada saat pertemuan perta,ma dan ketiga menjadi pengamat maka pada pertmuan
kedua dan keempat mereka menjadi pemain. Demikian pula sebaliknya.
Pada tahap
Inti Permainan, pendidik membagi kelas menjadi 2 kelompok.Kemudian
masing-masing kelompok diberi tugas sesuai dengan bagiannya masing-masing. Guru melakukan pijakan dan pengamatan dengan meminta anak melakukan kegiatan sesuai
tugas kelompoknya. Guru mengamati anak didik selama proses pembelajaran dan hasil
dari penerapan Metode Bermain Peran. Nilai yang diperoleh anak didik pada tahap
ini berupa pemahaman terhadap yang ditampilkan dari kegiatan bermain peran dan
diskusi setelah kegiatan bermain peran selesai. Selain itu juga diharapkan
terjadi perubahan perilaku dari beberapa anak didik yang sebelumnya suka untuk
mengganggu temannya yang lain. Pada saat kegiatan bermain peran dilakukan pendidik memberikan motivasi, gagasan dan
inspirasi sehingga anak yang bermain peran bisa melakukan perannya dan tim
pengamat pun bisa bekerja sama dengan kelompoknya untuk mengamati temannya
bermain peran sehingga mereka bisa memberikan komentar atas permain peran teman
mereka.
Pada tahap Penutup tindakan langkah
pembelajaran dengan motivasi dan
pemberian gagasan dari pendidik sehingga anak yang berasal dari kelompok
pemeran bisa menceritakan pengalaman mainnya dan anak kelompok pengamat mampu
memberikan komentar atas cerita dan permainan peran teman-teman mereka
Menurut hasil pengamatan pda
pertemuan pertama dan kedua, anak didik sedikit demi sedikit memahami cerita
yang diperankan. Mereka terlihat cukup antusias dalam melakukan kegiatan
bermain peran demikian juga kelompok pengamat. Masih ada beberapa anak didik
yang terlihat kebingungan, baik dari kelompok pengamat maupun kelompok
peemeran. Untuk itu, pendidik juga menjelaskan maksud dari alur cerita yang
sedang diperankan oleh kelompok pemeran. Hanya tampak satu anak yang masih
membuat gaduh, menyakiti teman (memukul dan berkata dengan keras) karena diingatkan
teman yang lain
Dengan melakukan kegiatan bermain peran ternyata juga dapat menumbuhkan
kesadaran dari para anak didik untuk belajar dari hal-hal baru. Anak didik
menjadi sangat antusias dalam mengikuti kegiatan ini, terutama dari kelompok
pemeran. Pendidik sengaja untuk menjadikan beberapa anak didik yang kerap kali
mengganggu temannya yang lain ke dalam kelompok pengamat. Hal ini dilakukan
agar mereka dapat mengetahui akibat dari perbuatan buruk yang sering kali
mereka lakukan kepada temannya, baik ketika sedang terjadi kegiatan belajar
mengajar maupun ketika sedang istirahat. Pengamatan yang dilakukan pendidik
menunjukkan tanda-tanda perubahan dari anak didik yang suka mengganggu setelah
kegiatan bermain peran selesai.
Tetapi masih ada beberapa anak
didik yang terlihat kebingungan, terutama dari kelompok pengamat. Mereka sering
tidak tahu apa dialog yang sedang diperankan dan tokoh yang sedang memerankan
dialog tersebut. Oleh karena itu guru harus lebih melakukaan pijakan kepada
kedua tim dengan banyak memberikan motivasi, gagasan, dan inspirasi kepada
kedua tim tentang jalan cerita, isi dialog dan tokoh pemeran dengan baanyak
meemberikan pendampingan kepada kedua belah pihak. Untuk itu pada pertemuan
ketiga dan keempat yang berikutnya,
pendidik kemudian menjelaskan maksud dari alur cerita yang sedang diperankan
oleh kelompok pemeran serta memberikan tuntunan kepada kelompok pemeran. Dalam
pertemuan ketiga dan keempat ini
terdaapat perubahan yang cukup besar yaitu tidak ditemukannya anak yang
mengganggu anak yang lain sama sekali karena semua anak tampak memperhatikan
dan mendengaarkan serta melakukan semua tugas dalam kegiatan baik sebagai
pemeran maupun pengamat.
Kegiatan bermain peran
merupakan kegiatan yang sangat menarik bagi anak didik. Walaupun dilakukan
dengan sederhana, anak didik sagat menikmati kegiatan ini. Sesuai dengan tujuan
dari kegiatan ini, upaya untuk menanggulangi perilaku dari beberapa anak didik
yang suka mengganggu temannya yang lain dapat dilakukan dengan baik. Selain
itu, dari kegiatan ini juga dapat menyampaikan pesan moral dan nilai yang
dianut dengan efektif dan menarik.Selain itu guru yang terus aktif memberikan
pijakan kepada anak berupa gagasan tentang cerita,memberi inspirasi tentang
tokoh dan peran, memotivasi anak sejak kegiatan apersepsi, kegiatan inti ( saat
main peran berlangsung ), dan kegiatan akhir memberikan dampak yang bagus
kepada anak.Anak menjadi percaya diri dalam bermain peran, mengetahui siapa dan
bagaimana karakteristik tokoh dan alur
cerita yang diperankan. Sedangkan bagi tim pengamat, pijakan guru selama
kegiatan membantu mereka memahami alur cerita yaang diamati, siapa tokoh daan
bagaimana karakternya. Kesibukan mereka membuat mereka aktif dalam kegiatan
daan pada akhirnya mereka pun ( baik tim pengamat maupun tim pemeran ) yang
memahami alur cerita tentang perbuatan baik dan salah beserta akibatnya (terutama tentang kebiasaan
mengganggu orang lain ). Dengan memerankan tokoh dan mengamati permainan peran
anak akan bisa memahaami karakterisasi tokoh, peran serta tokoh itu di dalam
kehidupan, dampak atau konsekuensi yang diterimanya sebagai anggota masyarakat
atas perilaku yang ia perbuat. Empat orang anak yang pada awalnya penulis
kategorikan agresif ketika bergaul dengan temannya dengan menyhakiti secar
fisik maupun verbal sehingga kadang-kadang mengganggu jalannya pembelajaran
tidak menunjukkan perilaku tersebut ketika pembelajaran dengan kegiatan bermain
peran berlangsung.
C. Kesimpulan
- Fenomena yang ada di sekitar memperlihatkan tidak semua anak dapat melewati tahap perkembangannya dengan baik dan selalu bisa tumbuh menjadi anak yang menyenangkan.
- Anak didik Kelas B TK Pertiwi 03 Ngadiluwih semester I tahun pelajaran 2010/2011 menunjukkan bahwa ada lima anak didik sering kali mengganggu temannya yang lain dengan perilaku mereka yang agresif misalnya membuat gaduh kemudian marah sampai menghentak-hentakkan kaki atau menyakiti anak lain secara fisik maupun verbal bahkan suatu ketika anak-anak tersebut juga menyakiti guru secara fisik pada saat mereka ditegur ketika berlangsung kegiatan belajar mengajar sehingga pembelajaran menjadi terganggu.
- Hasil penelitian dan percobaan yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa bermain peran merupakan salah satu model yang dapat digunakan secara efektif dalam pembelajaran. Dalam hal ini, bermain peran diarahkan pada pemecahan masalah yang menyangkut hubungan antar manusia, terutama yang menyangkut kehidupan anak didik. Misalnya saja kenapa ada sebagian dari anak didik sering bersikap agresif sehingga mengganggu temannya secara fisik, verbal., maupun mental.
- Kegiatan Bermain peran dilakukan dalam 4 kali pertemuan dengan membagi kelas menjadi dua kelompok: kelompok pemain dan kelompok pengamat dan kedua kelompok ini saling bertukar tugas di pertemuan berikutnya. Kegiatan dibagi menjadi tahap apersepsi (pijakan awal oleh guru kepada kelompok ), inti permainan dan penutup(berdiskusi tentang pengalaman main peran )
- Kegiatan bermain peran merupakan kegiatan yang sangat menarik bagi anak didik. Walaupun dilakukan dengan sederhana, anak didik sagat menikmati kegiatan ini. Sesuai dengan tujuan dari kegiatan ini, upaya untuk menanggulangi perilaku dari beberapa anak didik yang suka mengganggu temannya yang lain dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, dari kegiatan ini juga dapat menyampaikan pesan moral dan nilai yang dianut dengan efektif dan menarik
DAFTAR PUSTAKA
Mariani, Devi Sri. 2008. Bermain bagi Anak. http://badriyadi.wordpress.com/proposal
(diakses Tanggal 8 Mei 2011)
Nurliana, Reni.2010. Teknik Deprivasi sebagai Upaya Menangani
Agresivitas.
Patmonodewo, S.
1995. Buku ajar pendidikan prasekolah. Jakarta: Depdikbud.
Sessiani, Lucky. 2007. http://eprints.undip.ac.id/10438/1/Lucky_Ade_S_M2A_003-037.
Diakses tanggal 6 Mei 2011
Tedjasaputra, M. 2001. Bermain, Mainan dan Permainan. Jakarta: PT. Grasindo.
Sujiyono, Yuliani Nurani.2008.
Metode Pengembangan Kognitif. Jakarta:
Universitas Terbuka